2 tahun yang lalu, saya berkenalan
dengan Sungai Ciliwung, awalnya hanya sekedar iseng ikut ajakan teman menjadi
volunteer untuk pepustakaan Ciliwung yang bernaung dibawah Komunitas Ciliwung
Condet. Niat awalnya saya hanya sekedar untuk membunuh waktu luang libur kuliah
yang membosankan, kebetulan basecamp komunitas tersebut tidak jauh dari tempat
saya tinggal.
Jujur saja, walaupun saya asli warga
Jakarta, saya tak pernah tahu bagaimana wajah Sungai Ciliwung yang sebenarnya.
Yang saya tahu, setiap kali banjir 5 tahunan datang, maka sungai ini menjadi
bencana besar bagi Jakarta. Yang saya tahu, sungai ini begitu banyak dipinjam
namanya oleh para calon gubernur dan calon petinggi negara yang menjanjikan "Jakarta yang tak banjir lagi". Yang saya tahu, sungai ini ramai diperbincangkan
dalam isu-isu normalisasi, membosankan. Tapi, ketika pertama kali saya
menginjakkan kaki saya di Komunitas Ciliwung, saya langsung jatuh hati. Saya
jatuh hati pada rimbunnya pohon dan gemerisik daun salak yang tertiup angin.
Ambooi, rasanya saat itu saya langsung ingin bawa tikar dan berpiknik disana.
Kata orang, Ciliwung itu ada
peletnya, makanya sekali main di Ciliwung, di jamin pasti akan balik lagi.
Mungkin itu yang terjadi kepada saya. Semenjak hari itu saya repot sekali
bolak-balik ke Komunitas Ciliwung hanya sekedar untuk menikmati sore sambil
berbincang hangat seputar isu-isu lingkungan hidup ditemani secangkir kopi yang
disuguhkan gratis disana.
Semakin sering saya berkunjung, semakin saya tahu
keadaan Ciliwung yang sebenarnya. Miris, sungguh miris. Di kota modern sekelas
Jakarta, ternyata masih ada yang terbelakang. Ya, sungai Ciliwung tertinggal di
belakang segala kemajuan Kota Jakarta. Akhirnya, berangkat dari rasa sedih dan
miris karena begitu banyak orang yang rugi karena tidak mengenal sungai ini,
saya dan beberapa teman membentuk tim dan membuat tempat bermain dan belajar di
tepi Sungai Ciliwung yang kami beri nama “sekolah alam ciliwung”. Di sana kami
mengajak anak-anak sekitar untuk bermain dan mengenal sungai Ciliwung dengan
cara yang menyenangkan. Kami mengajari mereka dengan dongeng, dengan
menceritakan sejarah sungai, membuat drama tentang asal-usul sungai.
Awalnya hanya 10 orang saja yang datang
dan mau mengenal sungai Ciliwung, tapi kami tak putus asa. Setiap minggu
ternyata semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk ikut bergabung bersama
kami hingga akhirnya murid sekolah alam Ciliwung mencapai 150 anak. Harapan
kami, anak-anak ini nantinya akan menjadi generasi yang peduli, generasi yang
mampu hidup bersinergi dengan alam. Memang yang kami lakukan hanyalah hal yang
sangat kecil bagi Ciliwung kami tercinta. Namun, bukankah manusia pun hanya
terbuat dari sebuah sel kecil yang tak kasat mata?
Ciliwung bagi saya bukan hanya sekedar
guru yang memberi limpahan ilmu, Ciliwung juga sang dewi cinta. Ciliwung
memberikan saya seorang lelaki sempurna yang kini menjadi suami saya. Saya
bertemu dengannya dalam acara ulang tahun Jakarta yang diselenggarakan oleh
Komunitas Ciliwung Condet. Perkenalan yang sederhana ditemani segelas bir
pletok dan kue bugis khas betawi. Di tepi sungai Ciliwung yang mengerikan bagi
banyak orang, saya menemukan cinta yang sejati. Pertemuan demi pertemuan selalu
kami lakukan di tepi sungai ini, bukan hanya di condet, kami pun bertemu di
Ciliwung Bojonggede, Ciliwung Depok, bahkan hingga Ciliwung Bogor. Kami melihat
berbagai bentuk wajah dari Ciliwung, yang muram dan lesu serta telah renta di
hilir, serta wajah yang ceria dengan deras suara air dihiasi semilir angin
sepoi yang sejuk di hulu nya. Sungguh kontras dan amat berbeda, tapi kami
menikmati keduanya.
6 bulan setelah pertemuan sederhana di
tepi Ciliwung, saya dan lelaki yang diberikan Ciliwung untuk saya-pun menikah.
Hari-hari pernikahan kami pun selalu diisi dengan cerita-cerita tentang sungai
ini. Mungkin Ciliwung memang telah menjerat saya dengan pesonanya, bahkan
setelah menikah saya justru semakin dekat dengan Ciliwung, karena rumah yang
saya dan suami tempati kini berada di tepi sungai Ciliwung. Oh, tentu saja
berada diluar garis sempadan sungai yang telah di tentukan.
Setelah menikah saya melihat lagi wajah
Ciliwung yang lain, wajah penuh amarah saat musim hujan tiba. Walaupun rumah
saya diluar garis sempadan sungai, tentu saya tetap mengalami banjir 5 tahunan.
Banjir pertama yang datang hanya berselang 2 hari setelah pernikahan kami,
Ciliwung dengan baik hati memberi kami hadiah berupa limpahan air yang datang
berkunjung ke rumah kami. Sungguh saya tak pernah merasa keberatan ataupun
kesal dengan sungai ini, saya menikmati setiap detik menanti air itu datang dan
masuk ke dalam rumah, karena sungguh seandainya kalian tahu, banjir membawa
banyak keberkahan. Senang sekali rasanya melihat warga saling tolong menolong
membantu mengungsikan barang-barang. Mungkin kalian sesekali harus mencoba
rasanya kebanjiran, memang letih dan lelah, namun banyak pelajaran yang amat
berharga yang bisa kita ambil.
Episode berikutnya saya jalani bersama
Ciliwung kala saya mengandung anak pertama saya. Sebegitu lekatnya pesona Ciliwung sampai saat hamil pun saya ngidam mandi dan berenang di sungai Ciliwung. Apa daya, walaupun rumah saya hanya sepelemparan batu dengan tepi Sungai Ciliwung, tentu saya tidak bisa mandi di sungai Ciliwung di Condet ini
karena airnya sudah begitu keruh dan tercemar. Walaupun saya cinta dengan
Ciliwung, saya pasti berpikir dua kali kalau untuk menceburkan diri saya di
sungai Ciliwung belakang rumah saya. Saya bukan sungkan dengan Ciliwungnya,
namun saya takut ketika saya main air disana, jempol kaki saya dimakan oleh
ikan sapu-sapu. Akhirnya karena begitu inginnya saya main di Ciliwung, suami
saya dengan baik hati bersedia mengantar saya ke sungai Ciliwung bagian hulu,
yang terdekat yaitu di Bojonggede.
Pagi-pagi sekali dengan membawa perut yang
kian besar kami mantap sekali menumpang kereta commuterline. Sesampai disana
saya harus menelan kekecewaan karena air sedang tinggi dan saya tidak
diperkenankan untuk turun ke sungai karena bisa berbahaya. Saya dan suami pun
harus menunggu air surut kembali sekitar 4 jam, saat menunggu sungguh tidak
terasa membosankan karena kami menunggu di bawah rindangnya pepohonan lokal dan
duduk di dalam saung sambil memandang jajaran bibit pohon dalam ratusan
polybag. Oh ya, kalian harus tahu kalau Komunitas Ciliwung Bojonggede punya
program nursery, khususnya dalam bidang pembibitan dan pemberdayaan pohon-pohon
lokal. Tempatnya sangat asri dan rimbun, cocok sekali untuk mata-mata yang
lelah memandang riuhnya perkotaan. Tak terasa sore pun datang menjelang, kami
pulang dengan memikul lelah yang amat sangat, kaki saya mulai bengkak dan
punggung pun mulai letih dibawa berjalan, tapi senyum tetap terkembang di wajah
kami. Sungguh betapapun lelahnya, kami sangat menikmati waktu bercengkrama
dengan sungai. Saya jadi berandai-andai, apa mungkin nanti anak saya masih bisa
menikmati sejuknya sungai Ciliwung? Ah, sungguh indah bila saja sungai Ciliwung
di belakang rumah saya juga masih dapat kami nikmati airnya.
Ciliwung tak henti memberi saya kejutan.
Banjir kedua datang menyapa kala usia kandungan memasuki 8 bulan. Kata siapa
banjir datangnya 5 tahun sekali, saya baru 2 tahun menikah dan sudah 2 kali
kedatangan banjir. Tahun 2014 ini malah tak tanggung-tanggung, 7 kali banjir
merendam rumah kami tercinta. Saya tetap menikmati datangnya air, namun perut
buncit saya mulai menunjukkan keberatan. Kaki mulai sering terasa kram dan
punggung pun tak lagi kuat diajak bekerja membersihkan sisa-sisa lumpur kala
banjir mulai surut. Para tetangga sering meledek bahwa anak saya nanti akan
jadi anak kali, akan cepat bisa berenang, dan anak yang tidak bisa diam seperti
aliran sungai Ciliwung yang tak pernah diam. Bahkan beberapa mulai memberi
nama-nama untuk anak saya, kalau perempuan disuruh beri nama Siti Banjirwati,
kan kalau laki-laki dinamai Muhammad Ciliwung. Saya hanya tersenyum menanggapi.
syukurlah bayi saya tetap sehat dan aman di dalam perut saya hingga banjir pun
berlalu.
Bayi saya lahir setelah semua banjir
telah usai, di tanggal 6 maret 2014. Kami menamainya Shabia Nasheera yang
berarti anak gadis yang senang menolong. Harapan kami, gadis kami ini kelak
akan jadi gadis yang senang menolong seperti namanya. Para tetangga yang
membesuk datang dengan ledekan kalau anak saya tentu harus senang menolong
mereka kala banjir datang kembali. Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum mengamini.
Kini isu-isu penggusuran mulai
membayangi para tetangga di lingkungan kami. Kami hanya berharap kalau
penggusuran dengan membawa nama proyek emas normalisasi sungai tidak hanya akan
berakhir dengan kasus korupsi dan penggelembungan dana. Kami tak henti berharap
sungai Ciliwung akan kembali menjadi primadona, seperti masa keemasannya dulu.
kami tak henti berandai-andai agar kami bisa kembali menikmati sungai Ciliwung
yang bersih, dan asri. Siapa tahu kelak Ciliwung akan menjadi destinasi wisata
sungai? Siapa tahu kelak Ciliwung akan berubah menjadi Venice nya Indonesia.
Ciliwung
bagi saya bukan hanya sekedar air yang mengalir dari hulu ke hilirnya, namun Ciliwung adalah guru yang mengajarkan tentang kehidupan, tentang sejarah, dan
tentang masa depan. Ciliwung
bukan barang warisan dari generasi kita untuk generasi selanjutnya, Ciliwung
merupakan titipan generasi selanjutnya untuk kita rawat, kita jaga, dan kita
cintai.
Betapapun sakitnya Ciliwung, ia masih saja memberi
kasih pada kita dengan airnya. Ia masih saja memberi ilmu dengan tulus dengan
alirannya.
Mengalir bersama Ciliwung bukan hanya sekedar
mengalir, tapi belajar, dan hidup bersamanya, bersama Ciliwung kita...
( Nur Faizah - Sekolah Alam Ciliwung )