Kamis, 25 September 2014

Saya dan Sejuta Pesona Ciliwung

Kamis, September 25, 2014

Saya dan Shabia Nasheera di gendongan bersama suami yang membawa tas merah berisi perlengkapan bayi dengan keluarga besar Sekolah Alam di lokasi pinggir Sungai Ciliwung yang rindang sejuk di Komunitas Ciliwung Condet

2 tahun yang lalu, saya berkenalan dengan Sungai Ciliwung, awalnya hanya sekedar iseng ikut ajakan teman menjadi volunteer untuk pepustakaan Ciliwung yang bernaung dibawah Komunitas Ciliwung Condet. Niat awalnya saya hanya sekedar untuk membunuh waktu luang libur kuliah yang membosankan, kebetulan basecamp komunitas tersebut tidak jauh dari tempat saya tinggal.

            Jujur saja, walaupun saya asli warga Jakarta, saya tak pernah tahu bagaimana wajah Sungai Ciliwung yang sebenarnya. Yang saya tahu, setiap kali banjir 5 tahunan datang, maka sungai ini menjadi bencana besar bagi Jakarta. Yang saya tahu, sungai ini begitu banyak dipinjam namanya oleh para calon gubernur dan calon petinggi negara yang menjanjikan "Jakarta yang tak banjir lagi". Yang saya tahu, sungai ini ramai diperbincangkan dalam isu-isu normalisasi, membosankan. Tapi, ketika pertama kali saya menginjakkan kaki saya di Komunitas Ciliwung, saya langsung jatuh hati. Saya jatuh hati pada rimbunnya pohon dan gemerisik daun salak yang tertiup angin. Ambooi, rasanya saat itu saya langsung ingin bawa tikar dan berpiknik disana.

            Kata orang, Ciliwung itu ada peletnya, makanya sekali main di Ciliwung, di jamin pasti akan balik lagi. Mungkin itu yang terjadi kepada saya. Semenjak hari itu saya repot sekali bolak-balik ke Komunitas Ciliwung hanya sekedar untuk menikmati sore sambil berbincang hangat seputar isu-isu lingkungan hidup ditemani secangkir kopi yang disuguhkan gratis disana.
            Semakin  sering saya berkunjung, semakin saya tahu keadaan Ciliwung yang sebenarnya. Miris, sungguh miris. Di kota modern sekelas Jakarta, ternyata masih ada yang terbelakang. Ya, sungai Ciliwung tertinggal di belakang segala kemajuan Kota Jakarta. Akhirnya, berangkat dari rasa sedih dan miris karena begitu banyak orang yang rugi karena tidak mengenal sungai ini, saya dan beberapa teman membentuk tim dan membuat tempat bermain dan belajar di tepi Sungai Ciliwung yang kami beri nama “sekolah alam ciliwung”. Di sana kami mengajak anak-anak sekitar untuk bermain dan mengenal sungai Ciliwung dengan cara yang menyenangkan. Kami mengajari mereka dengan dongeng, dengan menceritakan sejarah sungai, membuat drama tentang asal-usul sungai.

Awalnya hanya 10 orang saja yang datang dan mau mengenal sungai Ciliwung, tapi kami tak putus asa. Setiap minggu ternyata semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk ikut bergabung bersama kami hingga akhirnya murid sekolah alam Ciliwung mencapai 150 anak. Harapan kami, anak-anak ini nantinya akan menjadi generasi yang peduli, generasi yang mampu hidup bersinergi dengan alam. Memang yang kami lakukan hanyalah hal yang sangat kecil bagi Ciliwung kami tercinta. Namun, bukankah manusia pun hanya terbuat dari sebuah sel kecil yang tak kasat mata?
Ciliwung bagi saya bukan hanya sekedar guru yang memberi limpahan ilmu, Ciliwung juga sang dewi cinta. Ciliwung memberikan saya seorang lelaki sempurna yang kini menjadi suami saya. Saya bertemu dengannya dalam acara ulang tahun Jakarta yang diselenggarakan oleh Komunitas Ciliwung Condet. Perkenalan yang sederhana ditemani segelas bir pletok dan kue bugis khas betawi. Di tepi sungai Ciliwung yang mengerikan bagi banyak orang, saya menemukan cinta yang sejati. Pertemuan demi pertemuan selalu kami lakukan di tepi sungai ini, bukan hanya di condet, kami pun bertemu di Ciliwung Bojonggede, Ciliwung Depok, bahkan hingga Ciliwung Bogor. Kami melihat berbagai bentuk wajah dari Ciliwung, yang muram dan lesu serta telah renta di hilir, serta wajah yang ceria dengan deras suara air dihiasi semilir angin sepoi yang sejuk di hulu nya. Sungguh kontras dan amat berbeda, tapi kami menikmati keduanya.

6 bulan setelah pertemuan sederhana di tepi Ciliwung, saya dan lelaki yang diberikan Ciliwung untuk saya-pun menikah. Hari-hari pernikahan kami pun selalu diisi dengan cerita-cerita tentang sungai ini. Mungkin Ciliwung memang telah menjerat saya dengan pesonanya, bahkan setelah menikah saya justru semakin dekat dengan Ciliwung, karena rumah yang saya dan suami tempati kini berada di tepi sungai Ciliwung. Oh, tentu saja berada diluar garis sempadan sungai yang telah di tentukan.
Setelah menikah saya melihat lagi wajah Ciliwung yang lain, wajah penuh amarah saat musim hujan tiba. Walaupun rumah saya diluar garis sempadan sungai, tentu saya tetap mengalami banjir 5 tahunan. Banjir pertama yang datang hanya berselang 2 hari setelah pernikahan kami, Ciliwung dengan baik hati memberi kami hadiah berupa limpahan air yang datang berkunjung ke rumah kami. Sungguh saya tak pernah merasa keberatan ataupun kesal dengan sungai ini, saya menikmati setiap detik menanti air itu datang dan masuk ke dalam rumah, karena sungguh seandainya kalian tahu, banjir membawa banyak keberkahan. Senang sekali rasanya melihat warga saling tolong menolong membantu mengungsikan barang-barang. Mungkin kalian sesekali harus mencoba rasanya kebanjiran, memang letih dan lelah, namun banyak pelajaran yang amat berharga yang bisa kita ambil.

Episode berikutnya saya jalani bersama Ciliwung kala saya mengandung anak pertama saya. Sebegitu lekatnya pesona Ciliwung sampai saat hamil pun saya ngidam mandi dan berenang di sungai Ciliwung. Apa daya, walaupun rumah saya hanya sepelemparan batu dengan tepi Sungai Ciliwung, tentu saya tidak bisa mandi di sungai Ciliwung di Condet ini karena airnya sudah begitu keruh dan tercemar. Walaupun saya cinta dengan Ciliwung, saya pasti berpikir dua kali kalau untuk menceburkan diri saya di sungai Ciliwung belakang rumah saya. Saya bukan sungkan dengan Ciliwungnya, namun saya takut ketika saya main air disana, jempol kaki saya dimakan oleh ikan sapu-sapu. Akhirnya karena begitu inginnya saya main di Ciliwung, suami saya dengan baik hati bersedia mengantar saya ke sungai Ciliwung bagian hulu, yang terdekat yaitu di Bojonggede. 

Pagi-pagi sekali dengan membawa perut yang kian besar kami mantap sekali menumpang kereta commuterline. Sesampai disana saya harus menelan kekecewaan karena air sedang tinggi dan saya tidak diperkenankan untuk turun ke sungai karena bisa berbahaya. Saya dan suami pun harus menunggu air surut kembali sekitar 4 jam, saat menunggu sungguh tidak terasa membosankan karena kami menunggu di bawah rindangnya pepohonan lokal dan duduk di dalam saung sambil memandang jajaran bibit pohon dalam ratusan polybag. Oh ya, kalian harus tahu kalau Komunitas Ciliwung Bojonggede punya program nursery, khususnya dalam bidang pembibitan dan pemberdayaan pohon-pohon lokal. Tempatnya sangat asri dan rimbun, cocok sekali untuk mata-mata yang lelah memandang riuhnya perkotaan. Tak terasa sore pun datang menjelang, kami pulang dengan memikul lelah yang amat sangat, kaki saya mulai bengkak dan punggung pun mulai letih dibawa berjalan, tapi senyum tetap terkembang di wajah kami. Sungguh betapapun lelahnya, kami sangat menikmati waktu bercengkrama dengan sungai. Saya jadi berandai-andai, apa mungkin nanti anak saya masih bisa menikmati sejuknya sungai Ciliwung? Ah, sungguh indah bila saja sungai Ciliwung di belakang rumah saya juga masih dapat kami nikmati airnya.

Ciliwung tak henti memberi saya kejutan. Banjir kedua datang menyapa kala usia kandungan memasuki 8 bulan. Kata siapa banjir datangnya 5 tahun sekali, saya baru 2 tahun menikah dan sudah 2 kali kedatangan banjir. Tahun 2014 ini malah tak tanggung-tanggung, 7 kali banjir merendam rumah kami tercinta. Saya tetap menikmati datangnya air, namun perut buncit saya mulai menunjukkan keberatan. Kaki mulai sering terasa kram dan punggung pun tak lagi kuat diajak bekerja membersihkan sisa-sisa lumpur kala banjir mulai surut. Para tetangga sering meledek bahwa anak saya nanti akan jadi anak kali, akan cepat bisa berenang, dan anak yang tidak bisa diam seperti aliran sungai Ciliwung yang tak pernah diam. Bahkan beberapa mulai memberi nama-nama untuk anak saya, kalau perempuan disuruh beri nama Siti Banjirwati, kan kalau laki-laki dinamai Muhammad Ciliwung. Saya hanya tersenyum menanggapi. syukurlah bayi saya tetap sehat dan aman di dalam perut saya hingga banjir pun berlalu.

Bayi saya lahir setelah semua banjir telah usai, di tanggal 6 maret 2014. Kami menamainya Shabia Nasheera yang berarti anak gadis yang senang menolong. Harapan kami, gadis kami ini kelak akan jadi gadis yang senang menolong seperti namanya. Para tetangga yang membesuk datang dengan ledekan kalau anak saya tentu harus senang menolong mereka kala banjir datang kembali. Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum mengamini.
Kini isu-isu penggusuran mulai membayangi para tetangga di lingkungan kami. Kami hanya berharap kalau penggusuran dengan membawa nama proyek emas normalisasi sungai tidak hanya akan berakhir dengan kasus korupsi dan penggelembungan dana. Kami tak henti berharap sungai Ciliwung akan kembali menjadi primadona, seperti masa keemasannya dulu. kami tak henti berandai-andai agar kami bisa kembali menikmati sungai Ciliwung yang bersih, dan asri. Siapa tahu kelak Ciliwung akan menjadi destinasi wisata sungai? Siapa tahu kelak Ciliwung akan berubah menjadi Venice nya Indonesia.

            Ciliwung bagi saya bukan hanya sekedar air yang mengalir dari hulu ke hilirnya, namun Ciliwung adalah guru yang mengajarkan tentang kehidupan, tentang sejarah, dan tentang masa depan. Ciliwung bukan barang warisan dari generasi kita untuk generasi selanjutnya, Ciliwung merupakan titipan generasi selanjutnya untuk kita rawat, kita jaga, dan kita cintai. Betapapun sakitnya Ciliwung, ia masih saja memberi kasih pada kita dengan airnya. Ia masih saja memberi ilmu dengan tulus dengan alirannya.
Mengalir bersama Ciliwung bukan hanya sekedar mengalir, tapi belajar, dan hidup bersamanya, bersama Ciliwung kita...
Nur Faizah - Sekolah Alam Ciliwung )



Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

 

© 2013 Ciliwung Institute. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top