Rabu, 05 Februari 2014

Ruang Kelola Sungai oleh Masyarakat Lokal di Pinggir Ciliwung

Rabu, Februari 05, 2014

Laporan Perjalanan Tim Riset Ekosistem Riparian

Muhamad Muslich, Sudirman Asun, Hasanudin

Ruang Kelola Sungai oleh Masyarakat Lokal di Pinggir Ciliwung

Menyusuri aliran Sungai Ciliwung semakin memberikan daya tarik tersendiri buat Tim Riset Ekosistem Riparian Komunitas Ciliwung.  Kali ini, Tim Riset menemukan informasi baru terkait dengan ruang pengelolaan sungai oleh masyarakat lokal.  Tak dinyana, ternyata di perkampungan pinggiran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor dan Cibinong masih terdapat keterkaitan aspek budaya yang cukup kuat terkait dengan pengelolaan sungai.  Maka tak salah kalau di wilayah itu masih terdapat ekosistem riparian yang masih alami dan dalam kondisi yang terjaga.  Kami melihat genting rumah yang berwarna coklat berlumut tampak menyembul di antara kanopi pepohonan ekosistem riparian.  Rumah-rumah itu adalah milik masyarakat lokal yang mengelola lahan di sempadan Ciliwung untuk kebun campuran.  Jarak antar rumah berjauhan dan tidak beraturan tetapi masih di luar garis sempadan sungai.  Asap membumbung dari sudut lain genting rumah itu.  Pemandangan khas perkampungan kami temui pagi itu.

Hari itu, Rabu (29/1), Saya, Asun, dan Udin melanjutkan agenda riset Ekosistem Riparian.  Berbekal GPS, kamera, meteran, tambang, peralatan tulis, dan alat survei lainnya kami melakukan pengamatan di aliran Sungai Ciliwung melintasi Desa Kedung Waringin, Desa Bojong Gede, sampai Desa Bojong Baru Kecamatan Bojong Gede.  Aliran itu menjadi bagian dari administrasi Kecamatan Bojong Gede.  Kami juga bergantian menyeberang jembatan gantung berjalan kaki menyusuri Desa Sukahati di Kecamatan Cibinong.  Aliran Ciliwung merupakan batas alami bagi sebagian besar desa dan kelurahan di Bogor dan Depok.

Gambar 1.  Kondisi ekosistem riparian di Kedung Pagersi Desa Kedung Waringin Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor
Agenda riset kali ini kami ingin mengamati ekosistem riparian yang terdapat di sekitar kedung.  Ya, masyarakat lokal menyebutnya kedung.  Kedung merupakan bagian sungai yang tercipta karena kondisi fisiknya yang memiliki palung yang lebih dalam dibandingkan dengan wilayah di sekitarya.  Kedung biasanya terletak di belokan atau kelokan sungai.  Di wilayah tersebut, pada sisi luar dikenal dengan zona gerusan (erosion zone: huruf B).  Zona di mana aliran air terus mengikis tebing sungai dan menyebabkan erosi.  Sementara sisi bagian dalam merupakan zona endapan (deposition zone: huruf A).  Zona tersebut merupakan lokasi pengendapan material yang dibawa dalam aliran sungai, misalnya lumpur, pasir, atau sampah.  Istilah kedung dikenal juga dengan lubuk.  Dalam bidang ilmu sungai atau dalam bahasan ekologi perairan tawar, kedung dikenal sebagai meander. Keberadaan vegetasi riparian di bagian zona gerusan dapat meminimalkan dampak tumbukan aliran air yang menyebabkan erosi.  Sementara  itu, vegetasi riparian di zona endapan dapat menjerap material dan sedimentasi dari aliran sungai maupun daratan.  Kejadian meluapnya Sungai Ciliwung beberapa pekan ini telah membawa berkah bagi masyarakat lokal di Kampung Gelonggong Desa Kedung Waringin.  Sebabnya, aliran air mengendapkan pasir ke bagian zona endapan di wilayah tersebut.  Pasir kemudian secara terbatas dimanfaatkan untuk dijual. Jangan salah, selain pasir juga aneka sampah plastik mampir di tempat yang sama.

Figure 2.  Ilustrasi zona erosi dan zona endapan di suatu meander sungai (sumber:www.sln.org.uk)


Kedung, karena kondisi fisiknya sangat dalam umumnya menjadi habitat bagi ikan.  Masyarakat lokal sering memancing atau menjala ikan di wilayah tersebut.  Wilayah tersebut umumnya berbahaya bagi anak-anak.  Arus di atas permukaan terlihat tenang.  Padahal di bagian dalam terdapat arus bawah yang sangat berbahaya.  Kedung juga terkenal dengan kesan angker atau mistis.  Wilayah kedung di lokasi pengamatan umumnya masih memiliki vegetasi riparian yang baik, terutama pada zona endapan yang lebih landaiVegetasi tersebut memberikan sumber pakan bagi ikan dan biota sungai.  Buah-buahan dan serasah yang jatuh atau terbawa oleh aliran berkumpul di lokasi tersebut.  Ketebalan kanopi ekosistem riparian membuat iklim mikro dan suhu air tetap terjaga kesesuaiannya untuk kehidupan ikan dan biota sungai. Bukan tidak mungkin, wilayah tersebut merupakan lokasi terbaik untuk perkembangbiakan ikan yang wajib dijaga.

Kami menemukan fakta bahwa di wilayah zona gerusan, malah digunakan sebagai komplek permukiman (huruf B).  Kondisi tersebut sangat membahayakan penghuni komplek perumahan.  Kondisi fisik yang rentan terhadap longsor di wilayah kedung membuat masyarakat lokal enggan membangun rumah di tempat tersebut.  Masyarakat lokal justru mengoptimalkannya sebagai kebun campuran atau hutan bambu (huruf A).  

Di antara kedung masyarakat mengenal istilah bantaran, tetapi bukan istilah bantaran dari kebijakan yang saat ini ada. Istilah bantaran ini mengacu pada ruang kelola sungai oleh masyarakat lokal yang terletak di antara dua kedung.  Di sepanjang bantaran terdapat pangkalan.  Pangkalan adalah wilayah yang lebih kecil yang secara intensif dikelola oleh masyarakat lokal seperti untuk kebun dan juga untuk mencuci atau mandi.  Saat pengamatan kami menemukan Pangkalan Wa Sop, Pangkalan Wa Odah, dan Pangkalan Wa Man.  Nama-nama pangkalan mengacu pada nama orang yang mengelola lokasi masing-masing.  Pangkalan-pangkalan tersebut berada di zona endapan yang secara fisik mudah dijangkau.  Di lokasi tersebut terdapat batu besar yang digunakan untuk mencuci.

Pemberian nama kedung biasanya dikaitkan dengan sejarah lokal dan kejadian-kejadian tertentu.  Berikut beberapa nama kedung yang kami temui;

Nama Kedung
Sejarah
Pagersi
Terdapat pagar besi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa.  Orang-orang tertentu saja yang dapat melihat pagar besi tersebut.
Buni
Pernah terdapat pohon buni yang sangat besar.  Pada saat pengamatan, pohon buni tersebut sudah tidak ada lagi.
Jiwa
Konon terdapat tubuh raksasa yang hancur berkeping-keping.  Jiwa rakasa tersebut ada di kedung Jiwa.
Curug
Terdapat curug atau air terjun kecil di salah satu tebing sungai.  Curug tersebut masih ada hingga sekarang.  Namun alirannya bercampur dengan limbah rumah tangga.
Bokor
Terdapat bokor dari emas.

Agenda riset hari itu juga berhasil menemukan spesies bambu seperti bambu tali, bambu ater, bambu ampel, bambu andong surat, bambu petung, bambu hitam, bambu tutul, dan bambu kuning.  Kami juga mengidentifikasi 24 spesies pohon.  Jumlah spesies pohon tersebut sama dengan jumlah spesies pohon yang ditemukan di Kedung Umpal meski spesiesnya banyak yang berbeda.  Di lokasi lain yang belum menjadi menjadi petak pengamatan, ditemukan pula pohon pasang (Lithocarpus sp).  Spesies tersebut merupakan pohon khas pegunungan.  Kesempatan pengamatan hari itu, kami hanya dapat mengidentifikasi delapan spesies tumbuhan bawah. Masih banyak spesies tumbuhan yang belum dapat dikenal nama spesiesnya.
Kami menyudahi pengamatan hari itu dengan berjalan kaki kembali menuju Kampung Gelonggong. Angkot yang kami harapkan ternyata masih jauh dari lokasi pengamatan.  Hari itu, paket makan siang kami santap tepat pukul 16.00 WIB.  Namun kami senang dengan hasil pengamatan hari itu.  Banyak informasi penting lainnya yang kami dapatkan. 
Gambar 3.  Hasanudin menunjukan rebung bambu petung di salah satu titik pengamatan ekosistem riparian di Bojong Gede.


Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

 

© 2013 Ciliwung Institute. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top