"Ciliwung 5 Tahun Dari Hari Ini"
Puncak, 11 November 2014. Kawasan puncak adalah hulu
berbagai persoalan lingkungan sungai Ciliwung.
Degradasi kawasan puncak dan menurunnya daya dukung lingkungan kawasan ini
berdampak penting terhadap timbulnya berbagai persoalan lingkungan di hilir Sungai
Ciliwung
termasuk Kota Jakarta. Tingkat kerusakan Kawasan
Puncak sebagai sumber dan penyedia air bagi jutaan manusia di Bogor, Depok, dan
Jakarta sudah pada tahap yang sangat menghawatirkan. Puncak menjadi hulu sungai
yang sangat terkenal di seluruh dunia yaitu Ciliwung sebagai toilet dan tempat
sampah terpanjang di dunia, Ciliwung merana.
Bergerak dari Hulu
Kawasan Puncak masih menjadi pilihan destinasi wisata yang sangat
populer bagi warga Jakarta dan sekitarnya di akhir pekan dan hari libur.
Kawasan ini juga populer setiap kali Jakarta tengah sibuk menghadapi banjir
rutin yang datang pada puncak musim hujan di akhir dan awal tahun. Ada
keniscayaan bahwa sebagian sumber utama banjir di Jakarta adalah karena
datangnya “banjir kiriman” dari Bogor, utamanya dari kawasan Puncak. Oleh
karenanya, kawasan ini sering dipersalahkan, sehingga sebagian mata para
pengamat, media dan pejabat menunjuk dan menyalahkan hadirnya bangunan
vila-vila liar serta berbagai pelanggaran tata ruang kawasan ini yang tidak
kunjung terselesaikan. Polemik Kawasan Puncak ini seakan jadi ritual tahunan
berita yang populer. Namun faktanya, permasalahan lingkungan di Kawasan puncak
ini tidak kunjung padam tanpa solusi berarti dan memunculkan riuh berita
musiman yang berulang tiap tahunnya.
Di penghujung tahun 2013
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dengan didukung Pemerintah DKI Jakarta
melakukan pembongkaran vila-vila liar di tanah-tanah negara. Pembongkaran yang
memang “sudah seharusnya” dilakukan ini menjadi berita hangat karena menjadi
hal yang “tidak biasa” dan untuk pertama kalinya dilakukan dengan jumlah yang
cukup masif. “Tidak biasa” karena sudah ada keniscayaan bahwa pemerintah tidak
akan pernah memiliki kemampuan dan keberanian menaklukan para pemilik-pemilik
vila yang banyak dimiliki para “elit” yang berpengaruh di negeri ini.
Pembongkaran vila di Kawasan Puncak tampaknya akan menjadi “persoalan yang
menyisakan persoalan baru” jika tidak disertai aksi yang menyeluruh. Pendapatan
masyarakat yang tinggal di beberapa Kampung di Desa Tugu Utara dan Tugu
Selatan, Kecamatan Cisarua hampir sepenuhnya tergantung dari kegiatan menunggu
vila, jasa ojek bagi pengunjung vila, termasuk jual beli tanah-tanah negara
yang melibatkan oknum-oknum yang memiliki kewenangan. Solusi pelanggaran tata
ruang dan penertiban bangunan liar harus bergerak ke arah hulu atau akar
masalah. Solusi ke hulu diantaranya adalah menertibkan praktek jual beli
tanah-tanah negara. Masyarakat setempat memerlukan informasi yang transparan
dan jelas mengenai status tanah-tanah negara di kawasan ini.
Di tengah kesulitan baru akibat
hilangnya sebagian sumber mata pencarian warganya pasca pembongkaran vila dan ditengah
derasnya gempuran budaya “asing”, warga lokal Kawasan Puncak selalu memiliki
mimpi lingkungan Puncak yang bersih dan lestari. Tumbuhnya kesadaran lokal akan
kelestarian lingkungan ini kami rasakan ketika kami selama beberapa bulan
terakhir menyertai masyarakat berembug mendiskusikan masa depan kawasan ini.
Namun tumbuhnya kesadaran lingkungan ini akan menjadi sia-sia tanpa dukungan
para pihak yang memiliki kewenangan diluar lokalitas mereka. Aksi masyarakat
beberapa kampung di kawasan ini yang tergerak secara rutin memulung sampah
sampah domestik, wisatawan, hotel-restoran di hulu-hulu sungai Ciliwung
membutuhkan dukungan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Pemerintah
Daerah, pengelola kawasan perkebunan serta pengusaha perhotelan dan restoran di
kawasan ini dapat mendukung terbangunnya system pengelolaan sampah yang
terintegrasi pada skala wilayah.
Menyadari itu semua, kami dari
beberapa komunitas, akademisi dan pemerhati lingkungan merasa sebagai bagian
dari persoalan ini berikhtiar memulai “gerakan dari hulu” dengan membentuk
“Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak”. Konsorsium kami diinisasi oleh P4W
IPB, Forest Watch Indonesia, Perkumpulan Telapak Badan Teritori Jawa Bagian
Barat, Ciliwung Institute, Komunitas Ciliwung Puncak dan Komunitas Peduli
Ciliwung Bogor. Kami tidak tahu berapa persisnya kontribusi Kawasan Puncak
terhadap persoalan lingkungan Sungai Ciliwung, Kota Jakarta dan sekitarnya.
Tapi kami yakin bahwa semua persoalan harus diselesaikan dengan bergerak dari
hulu dimana Kawasan Puncak sebagai hulu DAS Ciliwung adalah salah satu hulu
persoalan. Di kawasan hulu sungai ini kami juga mencoba melihat dan bergerak di
hulu persoalan. Kami akan berusaha bergerak secara proporsional dalam tiga
bentuk kegiatan, yakni riset, kampanye dan aksi nyata. Meski bergerak dari
hulu, kami berkeyakinan bahwa pada akhirnya semua harus berujung pada aksi
nyata.
Kajian desa secara
partisipatif telah mengindentifikasi masalah pencemaran dan sumber daya air
yang terjadi di Kawasan Puncak, Bogor, khususnya di Desa Tugu Selatan dan Tugu
Utara. Masalah yang terkait dengan aspek pencemaran di antaranya bersumber dari
sampah dan limbah cair. Beberapa penyebab timbulnya permasalahan tersebut di
antaranya:
- Volume sampah yang besar berasal dari wisatawan, permukiman warga,
hotel, dan tempat rekreasi
- Tidak tersedianya sarana fisik penampungan sampah yang memadai
- Pengangkutan sampah oleh petugas resmi tidak mencapai pedalaman
permukiman
- Tidak adanya pengelolaan limbah cair komunal baik di publik maupun
di permukiman masyarakat
- Perilaku hidup tidak ramah lingkungan
- Pelanggaran dan penguasaan terhadap sumberdaya air, misalnya
penguasaan mata air dan pemagaran badan sungai.
Temuan tersebut
diperkuat dengan hasil penelusuran sungai-sungai yang ada di Kawasan Puncak oleh
Komunitas Peduli Ciliwung. Keberadaan sumber cemaran ditemukan tersebar di hulu
sungai sampai pada batas hutan. Hilangnya ekosistem riparian akibat konversi
perkebunan teh, infrastruktur wisata, dan permukiman warga menyebabkan
hilangnya wilayah penyangga buffer antara sungai dan kawasan budidaya atau
permukiman.
Dampak ekologi
hilangnya ekosistem riparian diantaranya (1) berkurangnya resapan air sungai ke
dalam tanah, (2) berkurangnya daya tahan tanah terhadap aliran permukaan (run off), (3) meningkatnya potensi
longsor tebing sungai, dan (4) hilangnya jalur hijau sebagai habitat satwa
liar. Dampak lainnya adalah hilangnya fungsi ekonomi dan sosial bagi masyarakat
yang berada di sekitar aliran sungai. Aliran sungai menjadi tercemar karena
adanya sampah dan limbah cair. Selain itu terdapat pula masalah yang terkait
dengan penguasaan sumber daya air, misalnya sempadan sungai dan mata air oleh
pihak tertentu. Hal tersebut menyebabkan warga kesulitan mendapatkan akses
menuju sungai dan mata air. Air sungai tidak dapat digunakan lagi, sementara
sumber air telah dikuasi oleh pihak tertentu.
Kami memahami bahwa
masalah pencemaran dan sumber daya air merupakan masalah yang kompleks.
Penanganan masalah tersebut harus terintegrasi, sistematis, dan berkelanjutan.
Penanganan persoalan
kebiasaan membuang sampah dan limbah ke Sungai Ciliwung juga perlu dimulai dari hulu Sungai Ciliwung di Kawasan Puncak. Upaya mengubah
kebiasaan dan kemandirian masyarakat mengelola sampah memerlukan dukungan
banyak pihak. Baik melalui penguatan kelembagaan, pengadaan fasilitas
kebersihan dan pengolahan sampah/limbah hingga dukungan kebijakan pemerintah
maupun pemuka agama.
Tedja Kusumah, penduduk yang bermukim di wilayah
Puncak sangat gundah dengan kondisi ini. “Siapakah pemilik-pengelola
tanah di wilayah ini dan untuk siapa sajakah atau untuk apa sajakah wilayah
ini? Apakah hanya dijadikan wilayah wisata tanpa memperhatikan lingkungan?
Apakah wilayah dan masyarakat setempatnya memang telah diposisikan untuk selalu
menjadi Objek Penderita?,” katanya. Selanjutnya Tedja pun menambakan isu
Ciliwung hanya ada di musim hujan, jika kemarau telah mulai Puncak pun akan
dilupakan. Jika ini terjadi lagi, hal ini semakin membuatnya yakin bahwa
wilayah dan masyarakat di Puncak hanya Objek Penderita dari gemerlapnya
pembangunan.
“Saat ini seharusnya bukan Pendapatan Asli
Daerah yang menjadi prioritas melainkan lingkungan hidup karena Puncak adalah
penyangga jutaan penduduk di JABODETABEK. Bagaimana bisa menjadi penyangga yang
baik kalau untuk menyangga daerahnya sendiri sudah tidak mampu karena semakin
berkurangnya daya dukung lingkungan”, lanjut Teja Kusumah yang saat ini juga
aktif di Komunitas Ciliwung Puncak.
Kampanye dan Ajakan bergabung dalam aksi bersama
Persoalan lingkungan di kawasan
puncak membutuhkan pendekatan-pendekatan yang tepat dan menyentuh kebutuhan
masyarakat setempat. Pendekatan penegakan hukum akan sia-sia jika tanpa
disertai upaya menghidupkan aktivitas ekonomi lokal yang berkelanjutan.
Gerakan aksi penyelamatan kawasan
puncak adalah upaya untuk menghimpun partisipasi para pihak (pemerintah pusat
dan daerah, masyarakat lokal, dunia usaha, dan akademisi) sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing di dalam penyelamatan keberlanjutan kawasan puncak.
Kawasan puncak menyimpan berbagai peluang usaha bagi komunitas lokal yang lebih
ramah lingkungan dan tidak berbasis pada eksploitasi sumberdaya fisik
lingkungan.
Perlu dukungan dari
berbagai pihak dan kebijakan sinergis dari beberapa daerah dan pemangku
kebijakan yang memiliki kepentingan terhadap pengelolaan DAS Ciliwung, agar
inisiatif ini dapat terus berjalan, dan tidak terjebak pada “semangat
musiman”ketika kawasan Puncak menjadi perhatian dan pembicaran hanya ketika
musim penghujan dan banjir di Jakarta saja.
Hari Ciliwung 2014 menjadi bahan
renungan kita untuk bersama-sama berbuat baik terhadap Ciliwung dan anak-anak
sungainya. Semangat konservasi berbasis masyarakat menjadi bagian penting dalam
normalisasi Ciliwung.
Konservasi Hulu Cai menjadi
prioritas, agar sungai ini dapat terus mengalir dengan baik dan tidak juga
berlebih hingga menyebabkan banyak bencana longsor di Puncak dan banjir di
Jabodetabek. Penyelamatan kawasan puncak yang sangat kompleks dapat dimulai
dengan penyelesaian satu issu dengan dua aliran sungai paling hulu sebagai
model. Sungai Cisampay dan Sungai Citamiang, anak Sungai Ciliwung paling hulu
memiliki tekanan yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan dari berbagai
pihak dari hulu sampai hilir.
Dalam perayaan Hari Ciliwung ini,
Konsorsium Penyelamatan Puncak menyelenggarakan rangkaian kegiatan yang
bertujuan untuk mengkampanyekan penyelamatan Sungai Ciliwung dimulai dengan
“penyembuhan” di kawasan hulu. Rangkaian kegiatan dimulai sejak tanggal 8
November 2014 hingga 11 November 2014 yang merupakan hari ulang tahun Ciliwung.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan dimulai dengan memulung sampah dan
membersihkan gunung sampah, River camp,
Tanam pohon bersama kelompok tani hutan Kampung Cibulao, Susur Sungai Citamiang
(anak Sungai Ciliwung) Desa Tugu Utara, dan ditutup dengan acara diskusi dan
Penandatanganan Piagam Ciliwung yang merupakan kesepakatan bersama antar kepala
daerah dan para pihak yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan
memiliki wewenang terhadap pengelolaan Sungai Ciliwung.
Dalam rangka memulai,
menjembatani, dan mengintegrasikan
program-program pengelolaan Sungai Ciliwung, diskusi dan penandatanganan
piagam kesepakatan bersama Ciliwung ini diharapkan dapat:
- Menemukan ide-ide kreatif dan inisiatif unik yang dapat memulai dan mendukung program-program pemerintah daerah dalam upaya pelestarian dan pemulihan Sungai Ciliwung.
- Memperkuat kerjasama dan sinergitas antar masyarakat dan aparat daerah pada wilayah administrasi yang dilintasi Sungai Ciliwung dalam rangka percepatan pemulihan Sungai Ciliwung
- Mengurangi dampak pencemaran sungai pada masing-masing wilayah administrasi.
Lahirnya Nota Kesepahaman antara
Kepala Pemerintahan Daerah di Provinsi
Jawa Barat serta para pihak yang memiliki wewenang dan kepentingan terhadap DAS
Ciliwung diharapkan dapat menjadi awal sinergi dari Pengelolaan DAS Ciliwung
kawasan Hulu-Tengah.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Ir.
Siti Nurbaya Bakar memberikan apresiasi yang tinggi pada aktivitas kolaborasi
komunitas Ciliwung. Hal ini mengingat DAS Ciliwung merupakan DAS yang kritis.
“DAS Ciliwung akan menjadi super prioritas Kemenlinghut dalam mengatasi ancaman
banjir, utamanya di hulu DAS Ciliwung” tegas Siti.
DR. Ernan Rustiadi M.Agr, selaku Koordinator
Konsorsium yang juga Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
mengharapkan kegiatan ini dapat menjadi momentum menghidupkan semangat dan
optimisme baru bahwa persoalan Kawasan Puncak dan cita-cita mewujudkan Sungai
Ciliwung bersih bukan kemustahilan tapi yakin akan terwujud dengan kerja bersama
yng melibatkan komunitas” ungkap Ernan. Sudah saatnya di kawasan puncak
memiliki wadah kerjasama yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah, pengusaha,
lembaga penelitian dan pendidikan, LSM dan komunitas.
CATATAN UNTUK EDITOR:
Konsorsium
Penyelamatan Puncak merupakan jaringan kerjasama aksi untuk mendukung konservasi
Kawasan Puncak yang dimotori oleh IPB (P4W, Fakultas Pertanian, dan CDA),
Komunitas Ciliwung Puncak, Komunitas Peduli Ciliwung Bogor, Forest Watch
Indonesia, Ciliwung Institute, dan Telapak teritori Jawa bagian Barat, yang
diinisiasi sejak Februari 2014. Telah melakukan
serangkaian kerja aksi di Kawasan Puncak yang bekerjasama dengan BKPP Wilayah I
Jawa Barat, Bappeda Kabupaten Bogor, PTPN VIII, Perhutani, serta masyarakat khususnya
di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (http://savepuncak.org)
-
Komunitas Ciliwung Puncak merupakan sekelompok
masyarakat yang memiliki visi, misi, dan kepedulian terhadap lingkungan. Salah
satu yang menjadi perhatian adalah alam di Kawasan Puncak sebagai kawasan
penyangga ibu kota. Saat ini buffer zone tersebut
sudah rusak dan berubah menjadi kota kumuh tanpa perencanaan. Fokus KCP adalah
mencari solusi tentang sampah juga kampanye lingkungan tentang penanaman pohon
bambu dan aren. Informasi lebih jauh tentang puncak.org bisa diakses melalui http://puncak.org.
-
Ciliwung Institute (CI) merupakan forum kerja
yang digagas untuk mewadahi kegiatan komunitas yang bergerak dalam upaya
penyelamatan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Lingkup kegiatannya mulai dari
Puncak Kab. Bogor, Kota Bogor, Bojonggede Kab.Bogor, Depok hingga Jakarta.
Forum yang dibangun dari beragam isu ini mencoba mengangkat potensi Ciliwung
yang dilihat dan dilakukan dari berbagai sudut pandang. Keberagaman ini
merupakan kekuatan Ciliwung Institute untuk mengemas kampanye penyelamatan
Ciliwung yang disuarakan menjadi sederhana dan mudah diterima oleh berbagai
kalangan. Informasi lebih jauh tentang CI bisa diakses di http://ciliwunginstitute.org.
-
Divisi Perencanaan dan Pengembangan Komunitas, Pusat
Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB adalah sebuah divisi
pada sebuah lembaga penelitian di bawah Institut Pertanian Bogor yang memfokuskan
diri pada kegiatan penelitian yang terkait dengan perencanaan wilayah,
pengembangan wilayah pada lingkup kepulauan, negara berkembang dan pedesaan
atau pertanian. Divisi ini memfokuskan kegiatannya pada isu-isu the commons dan
pendekatan partisipatif. Informasi lebih jauh dapat diakses http://www.p4w-ipb.com
-
Perkumpulan Telapak Badan Teritori Jawa Bagian
Barat adalah Alat Kelengkapan Pengurus Perkumpulan Telapak yang bertanggung
jawab untuk menjalankan agenda Telapak serta membangun komunikasi yang intensif
kepada seluruh anggota Telapak di teritori Jawa Bagian Barat. Perkumpulan
Telapak merupakan organisasi perkumpulan berbasis anggota individu yang
meliputi aktivis LSM, masyarakat adat, petani, nelayan, praktisi bisnis,
praktisi media, advokat, guru, dosen, PNS, dan berbagai profesi lainnya, yang
bertujuan mewujudkan system pengelolaan sumber daya alam hayati yang bertumpu
pada masyarakat setempat dan didasarkan pada nilai-nilai keadilan, keragaman,
dan kelestarian di Indonesia sesuai Arah Gerakan Telapak. Informasi lebih jauh
dapat diakses http://www.telapak.org
-
Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan
pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan
organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses
pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga
dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.
Organisasi ini berbasis di Bogor. Informasi lebih jauh mengenai organisasi ini
dapat dijumpai pada website http://fwi.or.id.
-
Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor) merupakan
kelompok masyarakat yang berupaya menginspirasi warga terhadap pentingnya
lingkungan sungai yang sehat. Sejak awal berdiri selalu mengedepankan arti dari
kesederhanaan dan teladan berbanding aktivitas yang sulit sekali ditiru. Oleh
karenanya pilihan-pilihan kegiatan adalah memungut sampah di sungai dan menanam
pohon pada bantaran sungai. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di http://tjiliwoeng.blogspot.com.
-
Daerah Tangkapan Air merupakan wilayah yang
berfungsi sebagai penangkap air sementara pada wilayah puncak dan punggungan
suatu daratan. Wilayah ini dicirikan dengan kemampuannya untuk menahan air dan menyalurkannya ke dalam tanah
sebelum dialirkan kembali ke permukaan. Semakin lebat dan asli vegetasi yang
berada di wilayah ini secara otomatis kemampuannya pun semakin baik. Contoh
dari hubungan yang baik dari Daerah Tangkapan Air adalah keberadaan wilayah
berhutan di Gunung Rinjani, Pulau Lombok. Kehilangan tutupan hutan di kawasan
Gunung Rinjani, otomatis akan mematikan kehidupan pertanian dan perkebunan di
pulau tersebut.
-
Dari enam Daerah Aliran Sungai di Kabupaten
Bogor yang menghilir ke Propinsi DKI Jakarta, hanya DAS Ciliwung yang memiliki
tutupan hutan, itu pun hanya seluas 3.565 ha (12,22%). Secara total
prosentase tutupan hutan
dari enam buah
DAS yang menghilir
ke Propinsi DKI
Jakarta hanya 4,30%, sangat
kritis untuk menyangga Jakarta.
-
DAS Ciliwung dengan luas total mencapai hampir
39.000 ha, dan 29.000 ha bagiannya ada di Kabupaten Bogor. Tutupan hutan berupa
hamparan yang tersisa hanya 9,2%, terletak di bagian hulu, yaitu Kawasan
Puncak. Sangat kecil dan masih akan mengecil. Pada periode tahun 2000-2009
tutupan hutan yang musnah di DAS Ciliwung mendekati 5.000 ha, sedikit lebih
luas daripada Kota Sukabumi.
0 komentar:
Posting Komentar