Minggu, 30 November 2014

Sinergi Pengelolaan Ciliwung Bergerak Dari Hulu #HariCiliwung1111

Minggu, November 30, 2014

"Ciliwung 5 Tahun Dari Hari Ini" 


Puncak, 11 November 2014. Kawasan puncak adalah hulu berbagai  persoalan lingkungan sungai Ciliwung. Degradasi kawasan puncak dan menurunnya daya dukung lingkungan kawasan ini berdampak penting terhadap timbulnya berbagai persoalan lingkungan di hilir Sungai Ciliwung termasuk Kota Jakarta. Tingkat kerusakan Kawasan Puncak sebagai sumber dan penyedia air bagi jutaan manusia di Bogor, Depok, dan Jakarta sudah pada tahap yang sangat menghawatirkan. Puncak menjadi hulu sungai yang sangat terkenal di seluruh dunia yaitu Ciliwung sebagai toilet dan tempat sampah terpanjang di dunia, Ciliwung merana.

Bergerak dari Hulu

Kawasan Puncak masih menjadi pilihan destinasi wisata yang sangat populer bagi warga Jakarta dan sekitarnya di akhir pekan dan hari libur. Kawasan ini juga populer setiap kali Jakarta tengah sibuk menghadapi banjir rutin yang datang pada puncak musim hujan di akhir dan awal tahun. Ada keniscayaan bahwa sebagian sumber utama banjir di Jakarta adalah karena datangnya “banjir kiriman” dari Bogor, utamanya dari kawasan Puncak. Oleh karenanya, kawasan ini sering dipersalahkan, sehingga sebagian mata para pengamat, media dan pejabat menunjuk dan menyalahkan hadirnya bangunan vila-vila liar serta berbagai pelanggaran tata ruang kawasan ini yang tidak kunjung terselesaikan. Polemik Kawasan Puncak ini seakan jadi ritual tahunan berita yang populer. Namun faktanya, permasalahan lingkungan di Kawasan puncak ini tidak kunjung padam tanpa solusi berarti dan memunculkan riuh berita musiman yang berulang tiap tahunnya.
Di penghujung tahun 2013 Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dengan didukung Pemerintah DKI Jakarta melakukan pembongkaran vila-vila liar di tanah-tanah negara. Pembongkaran yang memang “sudah seharusnya” dilakukan ini menjadi berita hangat karena menjadi hal yang “tidak biasa” dan untuk pertama kalinya dilakukan dengan jumlah yang cukup masif. “Tidak biasa” karena sudah ada keniscayaan bahwa pemerintah tidak akan pernah memiliki kemampuan dan keberanian menaklukan para pemilik-pemilik vila yang banyak dimiliki para “elit” yang berpengaruh di negeri ini. Pembongkaran vila di Kawasan Puncak tampaknya akan menjadi “persoalan yang menyisakan persoalan baru” jika tidak disertai aksi yang menyeluruh. Pendapatan masyarakat yang tinggal di beberapa Kampung di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua hampir sepenuhnya tergantung dari kegiatan menunggu vila, jasa ojek bagi pengunjung vila, termasuk jual beli tanah-tanah negara yang melibatkan oknum-oknum yang memiliki kewenangan. Solusi pelanggaran tata ruang dan penertiban bangunan liar harus bergerak ke arah hulu atau akar masalah. Solusi ke hulu diantaranya adalah menertibkan praktek jual beli tanah-tanah negara. Masyarakat setempat memerlukan informasi yang transparan dan jelas mengenai status tanah-tanah negara di kawasan ini.
Di tengah kesulitan baru akibat hilangnya sebagian sumber mata pencarian warganya pasca pembongkaran vila dan ditengah derasnya gempuran budaya “asing”, warga lokal Kawasan Puncak selalu memiliki mimpi lingkungan Puncak yang bersih dan lestari. Tumbuhnya kesadaran lokal akan kelestarian lingkungan ini kami rasakan ketika kami selama beberapa bulan terakhir menyertai masyarakat berembug mendiskusikan masa depan kawasan ini. Namun tumbuhnya kesadaran lingkungan ini akan menjadi sia-sia tanpa dukungan para pihak yang memiliki kewenangan diluar lokalitas mereka. Aksi masyarakat beberapa kampung di kawasan ini yang tergerak secara rutin memulung sampah sampah domestik, wisatawan, hotel-restoran di hulu-hulu sungai Ciliwung membutuhkan dukungan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Pemerintah Daerah, pengelola kawasan perkebunan serta pengusaha perhotelan dan restoran di kawasan ini dapat mendukung terbangunnya system pengelolaan sampah yang terintegrasi pada skala wilayah.
Menyadari itu semua, kami dari beberapa komunitas, akademisi dan pemerhati lingkungan merasa sebagai bagian dari persoalan ini berikhtiar memulai “gerakan dari hulu” dengan membentuk “Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak”. Konsorsium kami diinisasi oleh P4W IPB, Forest Watch Indonesia, Perkumpulan Telapak Badan Teritori Jawa Bagian Barat, Ciliwung Institute, Komunitas Ciliwung Puncak dan Komunitas Peduli Ciliwung Bogor. Kami tidak tahu berapa persisnya kontribusi Kawasan Puncak terhadap persoalan lingkungan Sungai Ciliwung, Kota Jakarta dan sekitarnya. Tapi kami yakin bahwa semua persoalan harus diselesaikan dengan bergerak dari hulu dimana Kawasan Puncak sebagai hulu DAS Ciliwung adalah salah satu hulu persoalan. Di kawasan hulu sungai ini kami juga mencoba melihat dan bergerak di hulu persoalan. Kami akan berusaha bergerak secara proporsional dalam tiga bentuk kegiatan, yakni riset, kampanye dan aksi nyata. Meski bergerak dari hulu, kami berkeyakinan bahwa pada akhirnya semua harus berujung pada aksi nyata.
Kajian desa secara partisipatif telah mengindentifikasi masalah pencemaran dan sumber daya air yang terjadi di Kawasan Puncak, Bogor, khususnya di Desa Tugu Selatan dan Tugu Utara. Masalah yang terkait dengan aspek pencemaran di antaranya bersumber dari sampah dan limbah cair. Beberapa penyebab timbulnya permasalahan tersebut di antaranya:
  1. Volume sampah yang besar berasal dari wisatawan, permukiman warga, hotel, dan tempat rekreasi
  2. Tidak tersedianya sarana fisik penampungan sampah yang memadai
  3. Pengangkutan sampah oleh petugas resmi tidak mencapai pedalaman permukiman
  4. Tidak adanya pengelolaan limbah cair komunal baik di publik maupun di permukiman masyarakat
  5. Perilaku hidup tidak ramah lingkungan
  6. Pelanggaran dan penguasaan terhadap sumberdaya air, misalnya penguasaan mata air dan pemagaran badan sungai.
Temuan tersebut diperkuat dengan hasil penelusuran sungai-sungai yang ada di Kawasan Puncak oleh Komunitas Peduli Ciliwung. Keberadaan sumber cemaran ditemukan tersebar di hulu sungai sampai pada batas hutan. Hilangnya ekosistem riparian akibat konversi perkebunan teh, infrastruktur wisata, dan permukiman warga menyebabkan hilangnya wilayah penyangga buffer antara sungai dan kawasan budidaya atau permukiman.
Dampak ekologi hilangnya ekosistem riparian diantaranya (1) berkurangnya resapan air sungai ke dalam tanah, (2) berkurangnya daya tahan tanah terhadap aliran permukaan (run off), (3) meningkatnya potensi longsor tebing sungai, dan (4) hilangnya jalur hijau sebagai habitat satwa liar. Dampak lainnya adalah hilangnya fungsi ekonomi dan sosial bagi masyarakat yang berada di sekitar aliran sungai. Aliran sungai menjadi tercemar karena adanya sampah dan limbah cair. Selain itu terdapat pula masalah yang terkait dengan penguasaan sumber daya air, misalnya sempadan sungai dan mata air oleh pihak tertentu. Hal tersebut menyebabkan warga kesulitan mendapatkan akses menuju sungai dan mata air. Air sungai tidak dapat digunakan lagi, sementara sumber air telah dikuasi oleh pihak tertentu.
Kami memahami bahwa masalah pencemaran dan sumber daya air merupakan masalah yang kompleks. Penanganan masalah tersebut harus terintegrasi, sistematis, dan berkelanjutan.
Penanganan persoalan kebiasaan membuang sampah dan limbah ke Sungai Ciliwung juga perlu dimulai dari hulu Sungai Ciliwung di Kawasan Puncak. Upaya mengubah kebiasaan dan kemandirian masyarakat mengelola sampah memerlukan dukungan banyak pihak. Baik melalui penguatan kelembagaan, pengadaan fasilitas kebersihan dan pengolahan sampah/limbah hingga dukungan kebijakan pemerintah maupun pemuka agama.
Tedja Kusumah, penduduk yang bermukim di wilayah Puncak sangat gundah dengan kondisi ini. “Siapakah pemilik-pengelola tanah di wilayah ini dan untuk siapa sajakah atau untuk apa sajakah wilayah ini? Apakah hanya dijadikan wilayah wisata tanpa memperhatikan lingkungan? Apakah wilayah dan masyarakat setempatnya memang telah diposisikan untuk selalu menjadi Objek Penderita?,” katanya. Selanjutnya Tedja pun menambakan isu Ciliwung hanya ada di musim hujan, jika kemarau telah mulai Puncak pun akan dilupakan. Jika ini terjadi lagi, hal ini semakin membuatnya yakin bahwa wilayah dan masyarakat di Puncak hanya Objek Penderita dari gemerlapnya pembangunan.
 “Saat ini seharusnya bukan Pendapatan Asli Daerah yang menjadi prioritas melainkan lingkungan hidup karena Puncak adalah penyangga jutaan penduduk di JABODETABEK. Bagaimana bisa menjadi penyangga yang baik kalau untuk menyangga daerahnya sendiri sudah tidak mampu karena semakin berkurangnya daya dukung lingkungan”, lanjut Teja Kusumah yang saat ini juga aktif di Komunitas Ciliwung Puncak.

Kampanye dan Ajakan bergabung dalam aksi  bersama

Persoalan lingkungan di kawasan puncak membutuhkan pendekatan-pendekatan yang tepat dan menyentuh kebutuhan masyarakat setempat. Pendekatan penegakan hukum akan sia-sia jika tanpa disertai upaya menghidupkan aktivitas ekonomi lokal yang berkelanjutan. 
Gerakan aksi penyelamatan kawasan puncak adalah upaya untuk menghimpun partisipasi para pihak (pemerintah pusat dan daerah, masyarakat lokal, dunia usaha, dan akademisi) sesuai dengan kapasitasnya masing-masing di dalam penyelamatan keberlanjutan kawasan puncak. Kawasan puncak menyimpan berbagai peluang usaha bagi komunitas lokal yang lebih ramah lingkungan dan tidak berbasis pada eksploitasi sumberdaya fisik lingkungan. 
Perlu dukungan dari berbagai pihak dan kebijakan sinergis dari beberapa daerah dan pemangku kebijakan yang memiliki kepentingan terhadap pengelolaan DAS Ciliwung, agar inisiatif ini dapat terus berjalan, dan tidak terjebak pada “semangat musiman”ketika kawasan Puncak menjadi perhatian dan pembicaran hanya ketika musim penghujan dan banjir di Jakarta saja.
Hari Ciliwung 2014 menjadi bahan renungan kita untuk bersama-sama berbuat baik terhadap Ciliwung dan anak-anak sungainya. Semangat konservasi berbasis masyarakat menjadi bagian penting dalam normalisasi Ciliwung.
Konservasi Hulu Cai menjadi prioritas, agar sungai ini dapat terus mengalir dengan baik dan tidak juga berlebih hingga menyebabkan banyak bencana longsor di Puncak dan banjir di Jabodetabek. Penyelamatan kawasan puncak yang sangat kompleks dapat dimulai dengan penyelesaian satu issu dengan dua aliran sungai paling hulu sebagai model. Sungai Cisampay dan Sungai Citamiang, anak Sungai Ciliwung paling hulu memiliki tekanan yang cukup besar sehingga memerlukan penanganan dari berbagai pihak dari hulu sampai hilir.
Dalam perayaan Hari Ciliwung ini, Konsorsium Penyelamatan Puncak menyelenggarakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengkampanyekan penyelamatan Sungai Ciliwung dimulai dengan “penyembuhan” di kawasan hulu. Rangkaian kegiatan dimulai sejak tanggal 8 November 2014 hingga 11 November 2014 yang merupakan hari ulang tahun Ciliwung. Rangkaian kegiatan yang dilakukan dimulai dengan memulung sampah dan membersihkan gunung sampah, River camp, Tanam pohon bersama kelompok tani hutan Kampung Cibulao, Susur Sungai Citamiang (anak Sungai Ciliwung) Desa Tugu Utara, dan ditutup dengan acara diskusi dan Penandatanganan Piagam Ciliwung yang merupakan kesepakatan bersama antar kepala daerah dan para pihak yang memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan memiliki wewenang terhadap pengelolaan Sungai Ciliwung.
Dalam rangka memulai, menjembatani, dan mengintegrasikan  program-program pengelolaan Sungai Ciliwung, diskusi dan penandatanganan piagam kesepakatan bersama Ciliwung ini diharapkan dapat:
  1. Menemukan ide-ide kreatif dan inisiatif unik yang dapat memulai dan mendukung program-program pemerintah daerah dalam upaya pelestarian dan pemulihan Sungai Ciliwung.
  2. Memperkuat kerjasama dan sinergitas antar masyarakat dan aparat daerah pada wilayah administrasi yang dilintasi Sungai Ciliwung dalam rangka percepatan pemulihan Sungai Ciliwung
  3. Mengurangi dampak pencemaran sungai pada masing-masing wilayah administrasi.
Lahirnya Nota Kesepahaman antara Kepala Pemerintahan Daerah di  Provinsi Jawa Barat serta para pihak yang memiliki wewenang dan kepentingan terhadap DAS Ciliwung diharapkan dapat menjadi awal sinergi dari Pengelolaan DAS Ciliwung kawasan Hulu-Tengah.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar memberikan apresiasi yang tinggi pada aktivitas kolaborasi komunitas Ciliwung. Hal ini mengingat DAS Ciliwung merupakan DAS yang kritis. “DAS Ciliwung akan menjadi super prioritas Kemenlinghut dalam mengatasi ancaman banjir, utamanya di hulu DAS Ciliwung” tegas Siti.
DR. Ernan Rustiadi M.Agr, selaku Koordinator Konsorsium yang juga Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor mengharapkan kegiatan ini dapat menjadi momentum menghidupkan semangat dan optimisme baru bahwa persoalan Kawasan Puncak dan cita-cita mewujudkan Sungai Ciliwung bersih bukan kemustahilan tapi yakin akan terwujud dengan kerja bersama yng melibatkan komunitas” ungkap Ernan. Sudah saatnya di kawasan puncak memiliki wadah kerjasama yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah, pengusaha, lembaga penelitian dan pendidikan, LSM dan komunitas.

CATATAN UNTUK EDITOR:
­   Konsorsium Penyelamatan Puncak merupakan jaringan kerjasama aksi untuk mendukung konservasi Kawasan Puncak yang dimotori oleh IPB (P4W, Fakultas Pertanian, dan CDA), Komunitas Ciliwung Puncak, Komunitas Peduli Ciliwung Bogor, Forest Watch Indonesia, Ciliwung Institute, dan Telapak teritori Jawa bagian Barat, yang diinisiasi sejak Februari  2014. Telah melakukan serangkaian kerja aksi di Kawasan Puncak yang bekerjasama dengan BKPP Wilayah I Jawa Barat, Bappeda Kabupaten Bogor, PTPN VIII, Perhutani, serta masyarakat khususnya di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan (http://savepuncak.org)
-          Komunitas Ciliwung Puncak merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki visi, misi, dan kepedulian terhadap lingkungan. Salah satu yang menjadi perhatian adalah alam di Kawasan Puncak sebagai kawasan penyangga ibu kota. Saat ini buffer zone tersebut sudah rusak dan berubah menjadi kota kumuh tanpa perencanaan. Fokus KCP adalah mencari solusi tentang sampah juga kampanye lingkungan tentang penanaman pohon bambu dan aren. Informasi lebih jauh tentang puncak.org bisa diakses melalui http://puncak.org.
-          Ciliwung Institute (CI) merupakan forum kerja yang digagas untuk mewadahi kegiatan komunitas yang bergerak dalam upaya penyelamatan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Lingkup kegiatannya mulai dari Puncak Kab. Bogor, Kota Bogor, Bojonggede Kab.Bogor, Depok hingga Jakarta. Forum yang dibangun dari beragam isu ini mencoba mengangkat potensi Ciliwung yang dilihat dan dilakukan dari berbagai sudut pandang. Keberagaman ini merupakan kekuatan Ciliwung Institute untuk mengemas kampanye penyelamatan Ciliwung yang disuarakan menjadi sederhana dan mudah diterima oleh berbagai kalangan. Informasi lebih jauh tentang CI bisa diakses di http://ciliwunginstitute.org.
-          Divisi Perencanaan dan Pengembangan Komunitas, Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB adalah sebuah divisi pada sebuah lembaga penelitian di bawah Institut Pertanian Bogor yang memfokuskan diri pada kegiatan penelitian yang terkait dengan perencanaan wilayah, pengembangan wilayah pada lingkup kepulauan, negara berkembang dan pedesaan atau pertanian. Divisi ini memfokuskan kegiatannya pada isu-isu the commons dan pendekatan partisipatif. Informasi lebih jauh dapat diakses http://www.p4w-ipb.com
-          Perkumpulan Telapak Badan Teritori Jawa Bagian Barat adalah Alat Kelengkapan Pengurus Perkumpulan Telapak yang bertanggung jawab untuk menjalankan agenda Telapak serta membangun komunikasi yang intensif kepada seluruh anggota Telapak di teritori Jawa Bagian Barat. Perkumpulan Telapak merupakan organisasi perkumpulan berbasis anggota individu yang meliputi aktivis LSM, masyarakat adat, petani, nelayan, praktisi bisnis, praktisi media, advokat, guru, dosen, PNS, dan berbagai profesi lainnya, yang bertujuan mewujudkan system pengelolaan sumber daya alam hayati yang bertumpu pada masyarakat setempat dan didasarkan pada nilai-nilai keadilan, keragaman, dan kelestarian di Indonesia sesuai Arah Gerakan Telapak. Informasi lebih jauh dapat diakses http://www.telapak.org
-          Forest Watch Indonesia (FWI) merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Organisasi ini berbasis di Bogor. Informasi lebih jauh mengenai organisasi ini dapat dijumpai pada website http://fwi.or.id.
-          Komunitas Peduli Ciliwung (KPC-Bogor) merupakan kelompok masyarakat yang berupaya menginspirasi warga terhadap pentingnya lingkungan sungai yang sehat. Sejak awal berdiri selalu mengedepankan arti dari kesederhanaan dan teladan berbanding aktivitas yang sulit sekali ditiru. Oleh karenanya pilihan-pilihan kegiatan adalah memungut sampah di sungai dan menanam pohon pada bantaran sungai. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di http://tjiliwoeng.blogspot.com.
-          Daerah Tangkapan Air merupakan wilayah yang berfungsi sebagai penangkap air sementara pada wilayah puncak dan punggungan suatu daratan. Wilayah ini dicirikan dengan kemampuannya untuk  menahan air dan menyalurkannya ke dalam tanah sebelum dialirkan kembali ke permukaan. Semakin lebat dan asli vegetasi yang berada di wilayah ini secara otomatis kemampuannya pun semakin baik. Contoh dari hubungan yang baik dari Daerah Tangkapan Air adalah keberadaan wilayah berhutan di Gunung Rinjani, Pulau Lombok. Kehilangan tutupan hutan di kawasan Gunung Rinjani, otomatis akan mematikan kehidupan pertanian dan perkebunan di pulau tersebut.
-          Dari enam Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Bogor yang menghilir ke Propinsi DKI Jakarta, hanya DAS Ciliwung yang memiliki tutupan hutan, itu pun hanya seluas 3.565 ha (12,22%). Secara total prosentase  tutupan  hutan  dari  enam  buah  DAS  yang  menghilir  ke  Propinsi  DKI  Jakarta  hanya 4,30%, sangat kritis untuk menyangga Jakarta.

-          DAS Ciliwung dengan luas total mencapai hampir 39.000 ha, dan 29.000 ha bagiannya ada di Kabupaten Bogor. Tutupan hutan berupa hamparan yang tersisa hanya 9,2%, terletak di bagian hulu, yaitu Kawasan Puncak. Sangat kecil dan masih akan mengecil. Pada periode tahun 2000-2009 tutupan hutan yang musnah di DAS Ciliwung mendekati 5.000 ha, sedikit lebih luas daripada Kota Sukabumi.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

 

© 2013 Ciliwung Institute. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top