Kamis, 27 Maret 2014

Petisi Tolak Rencana Turap Betonisasi Ciliwung Sepanjang 19 KM Manggarai-TB Simatupang

Kamis, Maret 27, 2014

Kontrak Kerja Kementerian PU dalam Proyek Normalisasi Sungai Ciliwung Kota Jakarta
(Foto : Ciliwung Jembatan TB. Simatupang 23 Desember 2013 )


Air adalah sumber kehidupan, sungai adalah urat nadi kehidupan yang senantiasa memberi kehidupan pada setiap tempat yang dilaluinya. Baik air diambil langsung, maupun meresap melalui tanah pinggiran sungai oleh tumbuhan yang menghidupi dan rumah bagi ekosistem riparian bantaran sungai.
Jakarta sebagai muara dari 13 sungai dengan Sungai Ciliwung sebagai yang paling besar dan utama membelah jantung ibukota dituding sebagai penyebab banjir Jakarta yang semakin tahun semakin parah baik dari besaran banjir maupun intensitas makin sering.

Salah satu upaya pemerintah mengatasi persoalan banjir dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dengan otoritas Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane berupaya melakukan penanggulangan dengan pendekatan engineering/ pembangunan fisik di badan sungai seperti proyek normalisasi, penambahan pintu air Manggarai, pembangunan dam dan sodetan dalam hal pengendalian banjir dan penambahan kapasitas daya tampung badan sungai dengan penghitungan dasar Sungai Ciliwung dapat mengalirkan kapasitas air
Q (50) sebanyak  500m3/detik.

Rencana Proyek Normalisasi Sungai Ciliwung diantaranya dengan melakukan pengerukan pelebaran sungai dan pembangunan turap beton kanan kiri bantaran sungai dari sepanjang 19 Km dari Manggarai hingga daerah hulu diatasnya aliran Ciliwung  Jl. TB Simatupang.
Rencana pembangunan turap beton jelas kontradiktif dengan judul tujuan usaha penanggulangan banjir, karena beton adalah musuh dari resapan. Berapa banyak daya dukung resapan yang berkurang dengan dinding beton terbangun sepanjang  19 Km pada kanan dan kiri sungai.

Pembetonan segmen TB. Simatupang-Manggarai berbeda kasus dengan pembetonan aliran Ciliwung Lama ataupun kanalisasi daerah kota tua yang mempunyai kontur lebih landai dan datar. Turap Betonisasi aliran TB.Simatupang- Manggarai dengan lansekap kontur lebih curam akan mengakibatkan arus air lebih cepat bebondong bondong menuju hilir daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.
Air yang lebih cepat dialirkan ke daerah hilir mempunyai persoalan sendiri, karena air sungai tidak bisa dialirkan secara alamiah dibuang ke laut karena permukaan laut lebih tinggi dari pada permukaan air sungai sehingga nasibnya bergantung dengan pompa folder yang berfungsi sebagai  penyedot air sungai yang terhalang pintu air dan menutup masuknya air laut.
Dalam jangka panjang air yang semakin cepat dialirkan ke hilir ditambah  track record kemampuan maintaenance pemerintah yang buruk  dalam perawatan pompa folder akan mengancam daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara mengalami banjir yang lebih parah selain penyebab lain seperti buruknya sistem drainase Kota Jakarta.

Sungai meluap atau biasa disebut banjir adalah suatu proses alamiah siklus ekologi pada sungai, hal ini dibuktikan ketika  Jakarta juga mengalami banjir sejak jaman Batavia dulu. Kini yang menjadi persoalan ketika banjir semakin sering terjadi dengan daya rusak lebih besar.
Banjir besar Jakarta yang terjadi sekarang sampai beberapa kali setiap tahun merupakan bencana ekologis yang salah satunya disebabkan oleh tidak terjaganya kawasan catchment area dan inkonsistensi tata ruang yang terjadi dari hulu hingga ke hilir. Dengan bencana ekologis yang ada, maka penanggulangan juga harus dilakukan dengan pendekatan perbaikan ekologi seperti pemulihan tutupan hijau resapan air DAS (Daerah Aliran Sungai/ Watershed).

Pembangunan Turap Beton juga akan mengancam tutupan hijau sepanjang TB Simatupang – Manggarai yang memang masih di dominasi daerah kebun warga yang cukup rimbun dan menghalangi sirkulasi hidrologi resapan air tanah seperti kasus turap beton yang dialami di Ciliwung Kebun Raya Bogor yang sekarang mengalami krisis air tanah.

Penguatan bantaran dapat  dilakukan dengan pendekatan bio-engineering seperti dengan beronjong (perkuatan tebing dengan kawat berisi batu batu kali) dan penanaman pohon di sempadan Sungai seperti yang direkomendasikan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011 tentang Sungai.

Di beberapa kasus Turap beton juga membuat warga semakin tertarik mengokupasi bantaran sungai untuk mendirikan bangunan permanen karena dianggap aman dan kuat untuk pondasi bangunan, apalagi ditambah rendahnya pengawasan kelurahan terhadap wilayah daerahnya masing masing.
Perbaikan perbaikan dan pembangunan yang dilakukan Kementerian PU dengan biaya mahal Trilyunan Rupiah di badan sungai ibarat orang menampung bocor air hujan dengan wadah emas tanpa berusaha memperbaiki sumber masalah yaitu menambal atap yang bocor.

Sungai hanyalah indikator,badan sungai sebagai permukaan tanah terendah hanyalah penerima akibat dampak diatasnya yaitu cakupan luas yang harus diperbaiki yaitu DAS (Watershed) secara keseluruhan dan komprehensif sehingga run off atau air hujan dari permukaan turun ke sungai dapat dikurangi secara signifikan terserap ke tanah dan pohon oleh ruang terbuka hijau maupun penampungan air situ/waduk.
Penanganan banjir yang dilakukan tidak bisa dilakukan dengan kebijakan temporal atas dasar kepanikan sesaat, kemudian melupakan persoalan yang ada beserta upaya penyelesaiannya setelah bencana banjir sudah lewat. Kebijakan harus dilakukan secara terencana jangka panjang dalam sebuah master plan yang dirancang bersama secara komprehensif dan terpadu bersama antar Kementerian dan integrasi Pemerintah Daerah di sepanjang DAS Ciliwung lintas sektoral dan struktural, termasuk dalam hal pengawasan dan penegakan aturan hukum.

Pemulihan sungai di luar negeri mengarah ke restorasi (beton dibongkar dan mengembalikan sungai ke kondisi alamiah) itulah normalnya/alaminya kondisi sungai, bukan normalisasi versi teknokrat dengan turap beton, sebuah kondisi sungai yang sangat tidak normal.
Sungai dengan bentuk  alamiah mempunyai fungsi ekologi sebagai resapan air, menstabilkan kecepatan arus sungai, filtrasi pencemar dan sedimen, vegetasi riparian, serta sebagai habitat ekosistem keanekaragaman hayati seperti  yang diatur dalam PP.38 thn. 2011 tentang Sungai.

Sungai adalah sesuatu yang hidup (biotik), sudah seharusnya pengelolaan dikordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup bukan seperti sekarang yang didominasi Kementerian PU yang hanya mengenal hitungan angka nominal proyek engineering dan pembagunan.
KLH dengan turunan BLH/BPLHD di tingkat daerah harus memimpin pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dengan pedoman UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pengawasan IMB, AMDAL  dan keterbukaan informasi izin izin pemanfaatan dan pembangunan lingkungan.

Petisi ini ditujukan kepada para pihak yang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan dan perlindungan DAS Ciliwung diantaranya:
1.       Presiden Republik Indonesia
2.       Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup Provinsi DKI
3.       Kementerian Pekerjaan Umum – Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane
4.       Kementerian Kehutanan- BP DAS Ciliwung
Gubernur DKI Jakarta

Untuk dukungan suara silakan isi petisi di cahnge.org
silakan klik : Kemen PU : Tolak Rencana Turap Betonisasi Ciliwung Sepanjang 19 KM Manggarai-TB Simatupang

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

 

© 2013 Ciliwung Institute. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top