Kontrak Kerja Kementerian PU dalam Proyek Normalisasi Sungai Ciliwung Kota Jakarta (Foto : Ciliwung Jembatan TB. Simatupang 23 Desember 2013 ) |
Air adalah sumber kehidupan, sungai adalah urat nadi kehidupan yang senantiasa memberi kehidupan pada setiap tempat yang dilaluinya. Baik air diambil langsung, maupun meresap melalui tanah pinggiran sungai oleh tumbuhan yang menghidupi dan rumah bagi ekosistem riparian bantaran sungai.
Jakarta sebagai muara dari 13 sungai dengan Sungai Ciliwung
sebagai yang paling besar dan utama membelah jantung ibukota dituding sebagai
penyebab banjir Jakarta yang semakin tahun semakin parah baik dari besaran
banjir maupun intensitas makin sering.
Salah satu upaya pemerintah mengatasi persoalan banjir dalam
hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dengan otoritas Balai Besar Wilayah Sungai
Ciliwung Cisadane berupaya melakukan penanggulangan dengan pendekatan engineering/ pembangunan fisik di badan
sungai seperti proyek normalisasi, penambahan pintu air Manggarai, pembangunan
dam dan sodetan dalam hal pengendalian banjir dan penambahan kapasitas daya
tampung badan sungai dengan penghitungan dasar Sungai Ciliwung dapat
mengalirkan kapasitas air
Q (50) sebanyak 500m3/detik.
Q (50) sebanyak 500m3/detik.
Rencana Proyek Normalisasi Sungai Ciliwung diantaranya
dengan melakukan pengerukan pelebaran sungai dan pembangunan turap beton kanan
kiri bantaran sungai dari sepanjang 19 Km dari Manggarai hingga daerah hulu
diatasnya aliran Ciliwung Jl. TB
Simatupang.
Rencana pembangunan turap beton jelas kontradiktif dengan
judul tujuan usaha penanggulangan banjir, karena beton adalah musuh dari
resapan. Berapa banyak daya dukung resapan yang berkurang dengan dinding beton terbangun
sepanjang 19 Km pada kanan dan kiri
sungai.
Pembetonan segmen TB. Simatupang-Manggarai berbeda kasus
dengan pembetonan aliran Ciliwung Lama ataupun kanalisasi daerah kota tua yang
mempunyai kontur lebih landai dan datar. Turap Betonisasi aliran TB.Simatupang-
Manggarai dengan lansekap kontur lebih curam akan mengakibatkan arus air lebih
cepat bebondong bondong menuju hilir daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.
Air yang lebih cepat dialirkan ke daerah hilir mempunyai
persoalan sendiri, karena air sungai tidak bisa dialirkan secara alamiah
dibuang ke laut karena permukaan laut lebih tinggi dari pada permukaan air
sungai sehingga nasibnya bergantung dengan pompa folder yang berfungsi sebagai penyedot air sungai yang terhalang pintu air dan
menutup masuknya air laut.
Dalam jangka panjang air yang semakin cepat dialirkan ke
hilir ditambah track record kemampuan maintaenance
pemerintah yang buruk dalam perawatan
pompa folder akan mengancam daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara mengalami
banjir yang lebih parah selain penyebab lain seperti buruknya sistem drainase Kota
Jakarta.
Sungai meluap atau biasa disebut banjir adalah suatu proses
alamiah siklus ekologi pada sungai, hal ini dibuktikan ketika Jakarta juga mengalami banjir sejak jaman
Batavia dulu. Kini yang menjadi persoalan ketika banjir semakin sering terjadi
dengan daya rusak lebih besar.
Banjir besar Jakarta yang terjadi sekarang sampai beberapa
kali setiap tahun merupakan bencana ekologis yang salah satunya disebabkan oleh
tidak terjaganya kawasan catchment area
dan inkonsistensi tata ruang yang terjadi dari hulu hingga ke hilir. Dengan
bencana ekologis yang ada, maka penanggulangan juga harus dilakukan dengan
pendekatan perbaikan ekologi seperti pemulihan tutupan hijau resapan air DAS
(Daerah Aliran Sungai/ Watershed).
Pembangunan Turap Beton juga akan mengancam tutupan hijau
sepanjang TB Simatupang – Manggarai yang memang masih di dominasi daerah kebun warga
yang cukup rimbun dan menghalangi sirkulasi hidrologi resapan air tanah seperti
kasus turap beton yang dialami di Ciliwung Kebun Raya Bogor yang sekarang mengalami krisis air tanah.
Penguatan bantaran dapat dilakukan dengan pendekatan bio-engineering seperti dengan beronjong
(perkuatan tebing dengan kawat berisi batu batu kali) dan penanaman pohon di sempadan
Sungai seperti yang direkomendasikan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2011
tentang Sungai.
Di beberapa kasus Turap beton juga membuat warga semakin
tertarik mengokupasi bantaran sungai untuk mendirikan bangunan permanen karena
dianggap aman dan kuat untuk pondasi bangunan, apalagi ditambah rendahnya
pengawasan kelurahan terhadap wilayah daerahnya masing masing.
Perbaikan perbaikan dan pembangunan yang dilakukan Kementerian
PU dengan biaya mahal Trilyunan Rupiah di badan sungai ibarat orang menampung
bocor air hujan dengan wadah emas tanpa berusaha memperbaiki sumber masalah
yaitu menambal atap yang bocor.
Sungai hanyalah indikator,badan sungai sebagai permukaan
tanah terendah hanyalah penerima akibat dampak diatasnya yaitu cakupan luas
yang harus diperbaiki yaitu DAS (Watershed)
secara keseluruhan dan komprehensif sehingga run off atau air hujan dari permukaan turun ke sungai dapat
dikurangi secara signifikan terserap ke tanah dan pohon oleh ruang terbuka
hijau maupun penampungan air situ/waduk.
Penanganan banjir yang dilakukan tidak bisa dilakukan dengan
kebijakan temporal atas dasar kepanikan sesaat, kemudian melupakan persoalan
yang ada beserta upaya penyelesaiannya setelah bencana banjir sudah lewat.
Kebijakan harus dilakukan secara terencana jangka panjang dalam sebuah master plan yang dirancang bersama
secara komprehensif dan terpadu bersama antar Kementerian dan integrasi Pemerintah
Daerah di sepanjang DAS Ciliwung lintas sektoral dan struktural, termasuk dalam
hal pengawasan dan penegakan aturan hukum.
Pemulihan sungai di luar negeri mengarah ke restorasi (beton
dibongkar dan mengembalikan sungai ke kondisi alamiah) itulah normalnya/alaminya
kondisi sungai, bukan normalisasi versi teknokrat dengan turap beton, sebuah
kondisi sungai yang sangat tidak normal.
Sungai dengan bentuk alamiah mempunyai fungsi ekologi sebagai
resapan air, menstabilkan kecepatan arus sungai, filtrasi pencemar dan sedimen,
vegetasi riparian, serta sebagai habitat ekosistem keanekaragaman hayati
seperti yang diatur dalam PP.38 thn.
2011 tentang Sungai.
Sungai adalah sesuatu yang hidup (biotik), sudah seharusnya
pengelolaan dikordinasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup bukan seperti
sekarang yang didominasi Kementerian PU yang hanya mengenal hitungan angka nominal
proyek engineering dan pembagunan.
KLH dengan turunan BLH/BPLHD di tingkat daerah harus
memimpin pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam dengan pedoman UU 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam pengawasan
IMB, AMDAL dan keterbukaan informasi
izin izin pemanfaatan dan pembangunan lingkungan.
Petisi ini ditujukan kepada para pihak yang memiliki
tanggung jawab dalam pengelolaan dan perlindungan DAS Ciliwung diantaranya:
1.
Presiden Republik Indonesia
2.
Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan
Hidup Provinsi DKI
3.
Kementerian Pekerjaan Umum – Balai Besar Wilayah
Sungai Ciliwung-Cisadane
4.
Kementerian Kehutanan- BP DAS Ciliwung
Gubernur DKI JakartaUntuk dukungan suara silakan isi petisi di cahnge.org
silakan klik : Kemen PU : Tolak Rencana Turap Betonisasi Ciliwung Sepanjang 19 KM Manggarai-TB Simatupang
0 komentar:
Posting Komentar