Laporan Perjalanan
Tim Riset Ekosistem Riparian
Muhamad Muslich,
Sudirman Asun, Hasanudin
Ruang
Kelola Sungai oleh Masyarakat Lokal di Pinggir Ciliwung
Menyusuri aliran Sungai Ciliwung semakin
memberikan daya tarik tersendiri buat Tim Riset Ekosistem Riparian Komunitas Ciliwung. Kali ini, Tim Riset menemukan informasi baru
terkait dengan ruang pengelolaan sungai oleh masyarakat lokal. Tak dinyana,
ternyata di perkampungan pinggiran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor dan Cibinong masih terdapat keterkaitan
aspek budaya yang cukup kuat
terkait dengan pengelolaan sungai.
Maka tak salah kalau
di wilayah itu masih terdapat ekosistem riparian yang masih alami dan dalam
kondisi yang terjaga. Kami
melihat genting rumah yang berwarna coklat berlumut tampak menyembul di antara kanopi pepohonan
ekosistem riparian. Rumah-rumah itu
adalah milik masyarakat lokal yang mengelola lahan di sempadan Ciliwung untuk
kebun campuran. Jarak antar rumah
berjauhan dan tidak beraturan tetapi masih di luar garis sempadan sungai. Asap membumbung dari sudut lain genting rumah itu. Pemandangan khas perkampungan kami
temui pagi itu.
Hari itu, Rabu (29/1), Saya, Asun, dan
Udin melanjutkan agenda riset Ekosistem Riparian. Berbekal GPS, kamera, meteran, tambang, peralatan
tulis, dan alat survei
lainnya kami melakukan pengamatan di aliran Sungai Ciliwung
melintasi Desa
Kedung Waringin,
Desa Bojong Gede, sampai Desa Bojong Baru Kecamatan Bojong Gede. Aliran itu menjadi bagian dari administrasi
Kecamatan Bojong Gede. Kami juga bergantian
menyeberang
jembatan gantung berjalan
kaki menyusuri Desa Sukahati di Kecamatan Cibinong. Aliran
Ciliwung merupakan batas alami bagi sebagian besar desa dan kelurahan di Bogor
dan Depok.
Gambar 1. Kondisi ekosistem riparian di Kedung Pagersi Desa Kedung Waringin Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor |
Agenda riset kali ini kami ingin mengamati ekosistem riparian
yang terdapat di sekitar kedung. Ya, masyarakat lokal menyebutnya kedung.
Kedung merupakan bagian sungai yang tercipta karena
kondisi fisiknya yang memiliki palung yang lebih dalam dibandingkan dengan wilayah di
sekitarya. Kedung biasanya terletak di
belokan atau kelokan sungai. Di wilayah tersebut, pada
sisi luar dikenal dengan zona gerusan (erosion zone:
huruf B). Zona di mana
aliran air terus mengikis tebing
sungai dan menyebabkan
erosi. Sementara sisi bagian dalam merupakan zona
endapan (deposition zone: huruf A). Zona tersebut merupakan lokasi pengendapan material
yang dibawa dalam aliran sungai, misalnya lumpur, pasir, atau sampah. Istilah kedung dikenal juga dengan lubuk.
Dalam bidang ilmu sungai atau dalam bahasan ekologi perairan tawar, kedung dikenal sebagai meander. Keberadaan vegetasi riparian
di bagian zona gerusan dapat meminimalkan dampak tumbukan aliran air yang
menyebabkan erosi. Sementara itu, vegetasi riparian di zona endapan dapat
menjerap material dan sedimentasi dari aliran sungai maupun daratan. Kejadian meluapnya Sungai Ciliwung beberapa
pekan ini telah membawa berkah bagi masyarakat lokal di Kampung Gelonggong Desa
Kedung Waringin. Sebabnya, aliran air
mengendapkan pasir ke bagian zona endapan di wilayah tersebut. Pasir kemudian secara terbatas dimanfaatkan
untuk dijual. Jangan salah, selain pasir juga aneka sampah plastik mampir di
tempat yang sama.
Figure 2. Ilustrasi zona erosi dan zona endapan di suatu meander sungai (sumber:www.sln.org.uk) |
Kedung, karena kondisi fisiknya sangat dalam umumnya menjadi
habitat bagi ikan. Masyarakat lokal
sering memancing atau menjala ikan di wilayah tersebut. Wilayah tersebut umumnya
berbahaya bagi anak-anak. Arus di atas permukaan terlihat tenang.
Padahal di bagian dalam
terdapat arus bawah yang sangat berbahaya.
Kedung juga terkenal
dengan kesan angker atau mistis. Wilayah
kedung di lokasi pengamatan umumnya
masih memiliki
vegetasi riparian yang
baik, terutama pada zona endapan yang lebih landai. Vegetasi tersebut memberikan
sumber pakan bagi ikan dan biota sungai.
Buah-buahan dan serasah yang jatuh atau terbawa oleh aliran berkumpul di
lokasi tersebut. Ketebalan kanopi
ekosistem riparian membuat iklim mikro dan suhu air tetap terjaga kesesuaiannya
untuk kehidupan ikan dan biota sungai. Bukan tidak mungkin, wilayah tersebut merupakan lokasi terbaik untuk perkembangbiakan
ikan yang wajib dijaga.
Kami menemukan fakta bahwa di wilayah
zona gerusan, malah digunakan sebagai komplek permukiman (huruf B). Kondisi tersebut sangat
membahayakan penghuni komplek
perumahan. Kondisi fisik yang rentan terhadap longsor di
wilayah
kedung membuat masyarakat lokal enggan membangun rumah di tempat tersebut. Masyarakat lokal justru mengoptimalkannya sebagai kebun campuran atau hutan bambu (huruf A).
Di antara kedung masyarakat mengenal istilah bantaran, tetapi bukan istilah bantaran dari kebijakan yang saat
ini ada. Istilah bantaran ini mengacu
pada ruang kelola sungai oleh masyarakat lokal yang terletak di antara dua
kedung. Di sepanjang bantaran terdapat pangkalan. Pangkalan adalah wilayah yang lebih
kecil yang secara intensif dikelola oleh masyarakat lokal seperti untuk kebun
dan juga untuk mencuci atau mandi. Saat
pengamatan kami menemukan Pangkalan
Wa Sop, Pangkalan Wa Odah, dan Pangkalan Wa Man. Nama-nama pangkalan mengacu pada nama orang
yang mengelola lokasi masing-masing. Pangkalan-pangkalan tersebut berada di
zona endapan yang secara fisik mudah dijangkau.
Di lokasi tersebut terdapat batu besar yang digunakan untuk mencuci.
Pemberian nama kedung biasanya dikaitkan
dengan sejarah lokal dan kejadian-kejadian tertentu. Berikut beberapa nama kedung yang kami temui;
Nama
Kedung
|
Sejarah
|
Pagersi
|
Terdapat
pagar besi di sepanjang aliran Sungai Ciliwung yang tidak dapat dilihat oleh
mata manusia biasa. Orang-orang
tertentu saja yang dapat melihat pagar besi tersebut.
|
Buni
|
Pernah
terdapat pohon buni yang sangat besar.
Pada saat pengamatan, pohon buni tersebut sudah tidak ada lagi.
|
Jiwa
|
Konon
terdapat tubuh raksasa yang hancur
berkeping-keping. Jiwa rakasa tersebut ada di kedung Jiwa.
|
Curug
|
Terdapat
curug atau air terjun kecil di salah satu tebing sungai. Curug tersebut masih ada hingga
sekarang. Namun alirannya bercampur
dengan limbah rumah tangga.
|
Bokor
|
Terdapat
bokor dari emas.
|
Agenda
riset hari itu juga berhasil menemukan spesies bambu seperti bambu tali, bambu
ater, bambu ampel, bambu andong surat, bambu petung, bambu hitam, bambu tutul,
dan bambu kuning. Kami juga
mengidentifikasi 24 spesies pohon.
Jumlah spesies pohon tersebut sama dengan jumlah spesies pohon yang ditemukan
di Kedung Umpal meski spesiesnya banyak yang berbeda. Di lokasi lain yang belum menjadi menjadi
petak pengamatan, ditemukan pula pohon pasang (Lithocarpus sp). Spesies
tersebut merupakan pohon khas pegunungan.
Kesempatan pengamatan hari itu, kami hanya dapat mengidentifikasi
delapan spesies tumbuhan bawah. Masih banyak spesies tumbuhan yang belum dapat
dikenal nama spesiesnya.
Kami
menyudahi pengamatan hari itu dengan berjalan kaki kembali menuju Kampung Gelonggong.
Angkot yang kami harapkan ternyata masih jauh dari lokasi pengamatan. Hari itu, paket makan siang kami santap tepat
pukul 16.00 WIB. Namun kami senang
dengan hasil pengamatan hari itu. Banyak
informasi penting lainnya yang kami dapatkan.
Gambar 3. Hasanudin menunjukan rebung bambu petung di salah satu titik pengamatan ekosistem riparian di Bojong Gede.
|
0 komentar:
Posting Komentar