Kedua bahasan itulah yang membuat saya bersemangat sekali menulis ini. Bicara banjir Jakarta dan bicara penyediaan air bersih untuk Jakarta, tentunya bicara Sungai Citarum dan bicara Sungai Ciliwung yang keduanya, berhulu di satu provinsi, Jawa Barat. Menariknya, karena kedua hulu sungai besar di Indonesia tersebut di Jawa Barat, tapi dampaknya justru melintasi luar Jawa Barat.
Sehingga, muncul pertanyaan kritis. “Hey pak Aher, Perhutani dan BKSDA, kerjaan anak buah bapa apa selama ini, bagaimana konservasi hutan di hulu kedua sungai tersebut?”. Pertanyaan kedua, bagaimana dengan kabar perbaikan Saluran Tarum Barat di Bekasi dan Karawang yang didanai melalui program Integrated Citarum Water Resource Management Investment Programme (ICWRMIP) . Sekedar mengingatkan, Saluran Tarum Barat ini merupakan aliran dari Sungai Citarum yang sengaja dialirkan ke Jakarta untuk penyediaan air baku melalui PDAM.
Kedua sungai besar yang berada di Jawa Barat ini menjadi penyebab banjir. Sungai Citarum meluap, beberapa daerah di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat tergenang air. Penyebabnya, kritisnya kawasan hutan di hulu Sungai Citarum di Kabupaten Bandung sehingga membuat sungai menjadi dangkal karena proses sedimentasi. Kemudian, sungai menjadi dangkal karena sedimentasi lumpur, membuat run off atau kecepatan air sungai menjadi cepat sehingga, mempercepat proses terjadinya banjir serta menambah wilayah genangan air.
Sebagai gambaran, di hulu Sungai Citarum, telah terjadi proses deforestrasi hutan yang begitu besar dalam kurun waktu 9 tahun. Jika tahun 2000, tegakkan pohon di sekitar hulu sungai mencapai 27.966 hektare, maka tahun 2009 berubah drastis menjadi 4.566 hektare. Itu untuk hulu Sungai Citarum saja, belum lagi, deforestrasi hutan di sekitar hulu anak sungai citarum. Sebagai gambaran, saya tuliskan beberapa data yang saya miliki dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum :
1. Sub Das Cirasea Lahan kritis : 3.234 hektare. Sedimentasi: 1.755.517 ton/tahun.
2. Sub Das Cisangkuy Lahan kritis : 6.084 hektare. Sedimentasi: 1.332.692 ton/thn3. Sub Das Ciminyak Lahan Kritis: 4.626 hektare. Sedimentasi 1.132. 692 ton/tahun.
4. Sub Das Cikapundung Lahan Kritis: 3.865 hektare. Sedimentasi: 1.023.347 ton/tahun.
5. Sub Das Cihaur Lahan Krisis 2.447 hektare. Sedimentasi 857.446 ton/tahun.
6. Sub Das Ciwidey Lahan Kritis 1.982 hektare. Sedimentasi 1.023.891 ton/tahun.
7. Sub Das Citarik Lahan Kritis 3.782 hektare Sedimentasi 773.001 ton/tahun.
Sebelum membahas ke hal lain, saya ulas sedikit mengenai Tarum Barat. Penanggulangan Tarum Barat termasuk agenda pertama dari program ICWRMIP yang sebagian dananya berasal loan dari Asian Development Bank, Jica dan World Bank. Dalam agenda pertamanya itu, tidak hanya soal penyediaan air bersih untuk Jakarta, tapi juga penyediaan air untuk irigasi lahan pertanian di Kabupaten Karawang. ICWRMIP untuk program di Tarum Barat ini, kalau tidak salah berjalan dari 2008 dan ditargetkan selama 5 tahun hingga 2013. Total ICWRMIP ini sendiri sampai 2025.
“Hey Heryawan, jangan gampang keluarin izin pembangunan di kawasan konservasi dong, rakyat gue yang kena dampaknya,”.
Bisa dibayangkan, dengan kondisi hutan yang gundul kemudian menciptakan erosi dan berdampak pada pendangkalan sungai karena sedimentasi, aliran air begitu deras akan mengalir.
Permasalahan deforestrasi hutan di hulu sungai dan Das Citarum, tidak terlepas dari kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan keterbatasan kepemilikan lahan untuk berkebun atau bertani. Karena hanya dengan dua cara itu, mereka bisa bertahan hidup. Tapi karena terbatas, pembukaan lahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan dan pertanian, dianggap bukan sebagai masalah.
Sebagai gambaran, luas perkebunan sayur di sekitar Kecamatan Kertasari pada tahun 1992 mencapai 6000 hektare kemudian meningkat menjadi 37000 hektare pada tahun 2002. Luasan kebun sayur kemungkinan luasnya bertambah saat ini.
Karena itu, penangan Sungai Citarum, tidak semata soal normalisasi dalam bentuk pengerukkan atau pembuatan waduk-waduk buatan, untuk menampung air saat Sungai Citarum atau anak-anak sungainya meluap, tapi juga soal bagaimana masyarakat desa di sekitar hutan bisa berdaya tanpa harus membabad hutan.
Hal yang dibahas oleh Jokowi saat kunjungan ke Gedung Sate juga membahas soal penyediaan air bersih dari Sungai Citarum melalui saluran Tarum Barat.
Untuk membahas hal tersebut, di samping Citarum sebagai subjek yang sering disalahkan karena menimbulkan banjir, Citarum juga sudah tercemar dengan berbagai limbah, mulai dari limbah peternakan dan limbah pupuk di hulu Sungai Citarum, limbah industri di Kabupaten Bandung hingga masalah keramba apung di waduk Jatiluhur.
Untuk sementara, saya kembali mengulas sedikit run off air Sungai Citarum yang deras karena pendangkalan. Arus sungai yang deras menandakan volume air yang meningkat. Itu sebenarnya sangat bermanfaat ketika dialirkan ke Saluran Tarum Barat menuju Jakarta untuk penyediaan air baku. Tapi permasalahannya, meski debit air sungai begitu besar, tapi jika kualitas air Sungai Citarum yang sudah tercemar berbagai limbah dari Jawa Barat, apa debit air yang besar tersebut bisa bermanfaat untuk penyediaan air baku, apalagi digunakan oleh 80 persen warga Jakarta. Tentunya kan tidak.
Nah, saya pikir, itulah point pertama permasalahan yang dibahas Jokowi bersama Gubernur Ahmad Heryawan di Gedung Sate kemarin. Secara komunikasi politik, Jokowi hendak berkada pada Ahmad Heryawan,
“Hey Gubernur Jabar, Citarum banyak limbah, segera perbaiki, masa warga saya di DKI minum air limbah“.
Setelah penyelesaian Tarum Barat tersebut, program ICWRMIP menjalankan program pemanfaatan Sungai Citarum di sektor lain karena semua pihak meyakini bahwa Sungai Citarum penyelesaianya lintas sektoral, seperti kesehatan, kehutanan, lingkungan hidup, pertanian, infrastruktur, penegakkan hukum lingkungan.
Program ICWRMIP di Tarum Barat ini juga menuai kritik. Pasalnya, masalah krusial Citarum bukan terletak di Tarum Barat sendiri. Melainkan di hulu Sungai Citarum yang berada di Kabupaten Bandung, mulai dari masalah konservasi hutan, peneggakan hukum lingkungan terkait pencemaran limbah hingga kesehatan masyarakat yang terkena dampak limbah Sungai Citarum.
Jokowi juga membahas mengenai banjir Jakarta karena luapan Sungai Ciliwung bersama Gubernur Ahmad Heryawan. Pertanyaanya, banjir di Jakarta, kenapa Jokowi datang ke Gedung Sate. Tentu saja, karena hulu Sungai Ciliwung, berada di Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dan kondisinya sudah kritis.
Permasalahan banjir di Jakarta karena meluapnya Sungai Ciliwung, kurang lebih penyebabnya sama seperti di Jawa Barat, yakni deforestrasi hutan yang berdampak erosi, sedimentasi, pendangkalan, run off air yang deras, hingga banjir.
Namun, bedanya, jika di hulu Sungai Citarum deforestrasi hutan karena pembukaan hutan untuk lahan perkebunan, di hulu Sungai Ciliwung, deforestrasi hutan untuk pembangunan rumah, villa dan bangunan lainnya.
Sama halnya dengan Citarum yang memiliki banyak anak sungai, Ciliwung pun demikian. Jadi, selain deforestrasi di hulu Sungai Ciliwung, deforestrasi juga terjadi di anak-anak Sungai Ciliwung.
Penanganan banjir di Jakarta saya pikir terbilang maju di banding di Jawa Barat. Jika di Jakarta sudah membuat waduk-waduk buatan untuk menampung luapan air Ciliwung, justru di Jawa Barat, konsep waduk buatan baru sebatas wacana. Kalaupun memang ada, waduk buatan tersebut belum menjadi prioritas. Bahkan, warga di Dayeuhkolot Kabupaten Bandung, malah ada yang merelakan sebagian tanahnya dihibahkan untuk dibuat danau buatan.
Di Jawa Barat sendiri, penangan banjir saat ini lebih difokuskan pada pengerukkan Sungai Citarum. Sampai saat ini sendiri masih berjalan. Tapi, tetap saja, baik pembuatan waduk buatan di Jakarta maupun pengerukkan di Jawa Barat, penanganan banjir harus di mulai dari hulu sungai.
Dari permasalahan kedua sungai tersebut yang hulunya berada di Jawa Barat, kunjungan Jokowi ke Gedung Sate, bermakna sebuahh pertanyaan dan pernyatan kritis pada Pemprov Jabar ; Izin pembangunan di kawasan konservasi yang meliputi hlu sungai, baik Citarum maupun Ciliwung yang tidak terkontrol dan kemampuan Pemprov Jabar dalam menjaga ekologi hutan untuk sungai yang bersih dan aman.
Sederhananya, secara komunikasi politik, Jokowi hendak bertanya pada Ahmad Heryawan
Sehari setelah mengunjungi Gubernur Jabar, saya dapat info bahwa Jokowi langsung mendatangi Dirjen Sumber Daya Air dan Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto. Info yang saya dapat, Jokowi mengajukan banyak pertanyaan soal penanggulangan Tarum Barat, termasuk soal pembiayaannya.
Selain itu, kedatangan Jokowi ke Gedung Sate juga saya pikir, langkah baru dari political will penentu kebijakan bagi penyelesaian masalah Citarum dan Ciliwung. Pasalnya, permasalahan tersebut tidak mungkin dilakukan oleh satu pemerintah daerah saja.
oleh : Mega Nugraha
0 komentar:
Posting Komentar